Sop Empal Muntilan Bu Haryoko Menyatukan Lidah Jawa dan Tionghoa

Sop Empal Muntilan Bu Haryoko Menyatukan Lidah Jawa dan Tionghoa
Sumber foto: dokumen pribadi

Sepulang dari berwisata di Punthuk Setumbu dan Rumah Doa Bukit Rhema, saya bergegas ingin menenangkan perut yang mulai memberontak karena lapar. Inginnya saya, menyantap mangut beong legendaris Mbanglimus dekat Candi Borobudur. Tapi kemudian saya berpikir, pagi-pagi kok makan pedas nanti perut bisa kaget. Mangut beong cocoknya buat makan agak siang atau makan siang sekalian.

Sembari menyetir pelan Toyota Starlet, saya mencari referensi kuliner lain. Pertama yang ketemu di pencarian saya adalah Sop Senerek. Lah tapi kok di kota Magelang. Harus ngalor dong, makin jauh dengan jalur pulang. Yo wes, saya coba cari tempat lain, kali ini dengan query daerah Muntilan. Hasil pencarian teratas saya adalah warung Sop Empal Bu Haryoko.

Wah empal, sedap sepertinya. Tak apalah gigi saya saat itu sedikit agak sakit. Saya tak khawatir seliliten, wong empal itu jelas makanan superenak yang sayang untuk dilewatkan.

Warung Sop Empal Bu Haryoko ini berada di Jalan Veteran, Muntilan. Kalau dari arah Jogja, belok kanan pada jalan satu arah sebelum Klenteng Hok An Kiong. Warung Bu Haryoko berada di pinggir jalan tidak jauh dari jalan utama Jogja-Muntilan. Kalau dari arah kota Magelang, kita harus tetap berputar arah yang jalur paling cepatnya adalah berbelok di dekat Kantor Pos Muntilan lalu menuju arah Klenteng Hok An Kiong.

Parkir kendaraan di warung Sop Empal Bu Haryoko tergolong lenggang karena jalan di depan warung adalah jalan satu arah. Saat saya ke sana, sudah berjejer mobil-mobil yang tentunya penikmat sajian Sop Empal Bu Haryoko. Namun parkir di jalan depan warung bisa berbahaya karena berada di jalur truk-truk pengangkut pasir yang menuju jalan alternatif Ketep Pass. Pepetkan kendaraan Anda agar tidak kena serempet.

Masuk ke warung, saya menuju seorang ibu berjilbab yang sedang berteriak setengah kencang sembari menyuruh-nyuruh untuk mengantar pesanan sop empal. Ah itu pasti owner warung empal ini, Bu Haryoko. “Bu, pesen sop empal kalih njih.” (Bu, pesan sop empal dua, ya). Omongan saya hanya ditimpali kata “Njih” tegas terkesan galak. Bu Haryoko melanjutkan keasyikannya tunjuk sana tunjuk sini. Saya jadi gentar untuk bertanya apa menu lain selain sop empal. Warung saat itu ramainya sudah seperti pasar. Salah omong saat Bu Haryoko sedang sibuk, bisa-bisa pesenan saya dapat di-pending biar lama menunggunya. Oh Tuhan, maafkan su’uzhan saya ini.

Satu keluarga beranjak pergi seusai menyantap sop empal. Saya menggantikan mereka untuk duduk bersama istri dan anak. Saya memandang sekitar, “Woh jebule Cino kabeh.” (Wah, ternyata Cina semua)Saya terheran-heran. Hampir semua penikmat warung sop empal saat itu adalah etnis Tionghoa. Bu Haryoko menyatukan lidah Jawa dan Tionghoa melalui sop empalnya. Bahkan demi sepiring sop empal Bu Haryoko, beberapa warga Tionghoa rela sedikit diberi suara cerewet Bu Haryoko karena terlalu riuh dan lama dalam memesan hidangan.

Muntilan memang daerah yang penuh keberagaman. Komunitas Katolik Jawa berbasis di sini terkenal dengan sekolah-sekolahnya. Warga Tionghoa Muntilan lumayan besar sehingga klenteng selalu ramai dan meriah. Cobalah datang saat Tahun Baru Cina. Daerah ini berubah menjadi penuh pernak-pernik Tionghoa berikut dengan kemeriahannya. Untuk warga muslim, jangan lupakan makam Kiai Raden Santri Gunungpring, yang selalu diziarahi orang dari berbagai daerah setiap harinya. Konon kabarnya juga, NU dan Muhammadiyah di Muntilan bersaing dalam syiar agama. Selama ini, tidak pernah ada konflik agama. Mau menjadi radikal di Muntilan adalah hal yang sangat mustahil.

Kembali ke sop empal. Sop empal yang ditawarkan Bu Haryoko hanya sepiring kecil. Empalnya memiliki tekstur empuk dengan rasa manis. Saat menggigitnya, akan dijumpai serat-serat daging berkualitas yang dimasak dan dibumbui secara totalitas. Sambal yang mengiringi empal dibuat untuk meneteskan keringat pada kening karena pedas yang tak akan kita lupakan.

Esensi sebenarnya sop adalah kuah. Pertama menyantap, kalian pasti akan heran atas kesederhanaan kuah berisi sejimpit bihun dan kol seadanya. Namun sop sederhana ini justru yang membuat empal menjadi lebih dikenang kelezatannya. Kuah sop mengingatkan saya dengan menu rumahan yang ngangeni.

Sop empal telah menjadi media pluralisme. Saat menyantapnya, siapa saja yang berada di dalam warung tidak lagi memikirkan etnis dan agama. Hanya manusia biasa. Tidak ada ewuh-pakewuh, melebur menjadi satu, semua berbagi meja untuk bersantap. Bu Haryoko yang muslim ini patut dianugerahi penghargaan selayaknya Nobel Perdamaian.

Saya satu meja dengan Tionghoa beragama Nasrani. Mereka menyapa ramah saya, menanyakan apakah sisi sebelah meja yang saya duduki kosong. Mereka lalu duduk setelah saya. Saya dan mereka tidak canggung. Mereka jelas tahu bahwa saya muslim karena istri saya berjilbab. Mereka berdoa sebelum menyantap hidangan tanpa beban ewuh-pekewuh. Mengobrol dengan saya karena sama-sama memiliki anak balita.

Saya bergegas pulang setelah puas menyantap sop empal maknyus seperti kata Bondan Winarno yang pernah mampir di warung ini. Anak saya gampang bosan jika berlama-lama di suatu tempat. Warung juga semakin siang semakin ramai. Saya jadi belajar toleransi karena tidak enak membiarkan orang lain yang ingin menikmati sop empal berdiri lama menunggu meja kosong.

Jangan khawatir soal harga seporsi sop empal Bu Haryoko, masih dalam taraf wajar. Saya masih berencana kembali ke warung ini, karena mendapat bocoran menu lain selain sop empal dari keluarga Tionghoa yang semeja dengan saya.

Ardian Kusuma
Latest posts by Ardian Kusuma (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!