Sosiologi Rock: Melawan Melalui Budaya Populer

Judul                   : Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi Kritis Gaya Hidup

Penulis               : Abdullah Sumrahadi

Penerbit             : LP3ES

Cetakan             : Pertama, Desember 2017

Tebal                   : xii+190

ISBN                   : 978-602-7984-29-5

Musik diyakini telah menjadi bagian dari laku perubahan sosial. Tidak ada perubahan sosial tanpa komunikasi dan debat, dan musik adalah bagian dari itu. Kita tentu akrab dengan nama-nama seperti John Lennon, Bob Dylan, Zack de la Rocha, atau Iwan Fals yang lagu-lagunya kerap menjadi soundtrack bagi gerakan sosial, utamanya kaum muda dan kelas pekerja.

Leo Fender, sosok di balik jenama gitar Fender yang mendunia itu bahkan sempat berujar “music is the first unbloody revolution”. Barangkali ungkapan Leo itu terlalu berlebihan. Musik tentu tidak akan mampu mengubah apa pun. Namun, semua tentu sepakat bahwa musik atau segala jenis produk seni potensial memantik adanya perubahan sikap, cara pandang, atau dalam lingkup yang lebih besar: perubahan sosial.

Buku Ekonomi Politik Musik Rock; Refleksi Kritis Gaya Hidup yang ditulis Abdullah Sumrahadi mendedah pertanyaan bagaimana musik, terutama rock, menjadi bagian dari gaya hidup, komoditas dalam aktivitas kapitalisme budaya sampai media perlawanan. Dalam buku ini, Sumrahadi membahas setidaknya tiga hal terkait fenomena musik rock.

Pertama, ia menjelaskan bagaimana musik rock sebagai bagian dari industri budaya populer global masuk ke Indonesia dan menjadi gaya hidup sebagian besar anak muda. Kedua, ia menjelaskan secara rinci bagaimana musik rock menjadi media kritik dan perlawanan terhadap otoritas negara dan sistem kapitalisme. Ketiga, ia mengulas lirik-lirik lagu band-band rock tanah air melalui pendekatan hermeneutika untuk memahami cara pandang para musisi rock dalam melihat realitas sosial-politik di Indonesia.

Rock, Budaya Populer dan Globalisasi

Kajian budaya (cultural studies) yang berkembang di Barat mengenal dikotomi budaya ke dalam dua klasifikasi, yakni budaya tinggi (high culture) dan budaya rendah atau disebut pula budaya populer (popular culture). Budaya tinggi merujuk pada pengertian seni-budaya elitis yang dihasilkan dari proses kreatif dengan nilai dan standar estetika yang tinggi. Keberhasilannya dinilai dari sejauh mana pencapaian artistik dan unsur kebaruan yang dapat dirayakan.

Kebalikannya, budaya populer adalah seni-budaya yang dihasilkan oleh orang kebanyakan dengan standar nilai dan estetika yang menyesuaikan dengan selera massa. Budaya populer umumnya diproduksi dalam skala besar-massal demi kepentingan komersial-kapitalistik. Tingkat keberhasilan budaya populer dinilai dari seberapa luas produk seni budaya populer tersebut menjangkau dan dinikmati khalayak.

Seturut dengan dikotomi tersebut, Sumrahadi menempatkan musik rock sebagai budaya populer Barat yang kemudian menjadi budaya internasional oleh proses globalisasi. Musik rock, muncul pertama kali berasal dari Barat (Amerika dan Eropa) sekira tahun 1950-an. Secara musikal, rock merupakan genre musik gabungan (hybrid) antara blues, jazz, gospel, dan sedikit unsur pop.

Rock kemudian mulai dianggap eksis sebagai genre musik pada tahun 1960-an. Kala itu, muncul musisi-musisi seperti The Beatles, Motown, Led Zeppelin, Jimi Hendrix, Rolling Stone, dan beberapa band lain. Musik yang mereka mainkan dicirikan dengan ketukan (beat) dari snare drum yang bertempo cepat, irama boogie-woogie dan lengkingan gitar elektrik yang kala itu merupakan temuan baru dalam dunia musik. Aliran tersebut kemudian populer dengan sebutan musik rock n roll yang menjadi cikal-bakal penyebutan istilah rock.

Popularitas band-band pengusung aliran rock n roll, terutama The Beatles dan Rolling Stones menyebabkan musik rock menjadi fenomena global yang digandrungi oleh nyaris seluruh anak muda di dunia. Kegandrungan anak muda dunia pada subkultur rock dilatari oleh spirit band-band rock yang mengkampanyekan kebebasan, dan tidak segan mengkritik golongan tua. The Beatles misalnya, menggelorakan semangat perdamaian dan anti-perang yang berhasil mendulang simpati, terutama dari kalangan mahasiswa kala itu.

Pada fase selanjutnya, musik rock berkembang ke dalam berbagai macam genre, mulai dari alternative rock, heavy metal sampai yang paling mutakhir new metal. Musik rock pun tidak hanya populer di kawasan Amerika dan Eropa saja, namun juga merambah ke negara-negara lain. Arus besar globalisasi ke negara dunia ketiga, yang di dalamnya juga terdapat komodifikasi budaya populer, memungkinkan rock tersebar ke seluruh antero dunia, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, perkembangan musik rock dapat dibagi ke dalam setidaknya dua pembabakan sejarah. Babak pertama adalah di masa Orde Lama. Di bawah kepemimpian Sukarno yang menjalankan politik anti-Barat, segala jenis produk seni yang berafiliasi dengan kebudayaan Barat cenderung dibatasi. Begitu pula musik rock. Sukarno, bahkan dengan nada mengejek, menyebut musik-musik Barat sebagai musik ngak ngik ngok.

Adaptasi budaya Barat, menurut Sukarno dipandang sebagai ancaman, karena akan menumbuhkan kosmopolitanisme yang menggeser nasionalisme dengan mengorbankan kesadaran sosial. (hlm. 23).

Kondisi sebaliknya terjadi di era Orde Baru. Suharto yang dikenal pro-Amerika dan adaptif terhadap globalisasi membuka lebar-lebar pintu bagi kebudayaan asing masuk ke Indonesia. Bahkan, pemerintah Orde Baru pun menggunakan budaya populer sebagai salah satu media propagandanya. Salah satunya dengan melibatkan Koes Plus pada proses “integrasi” Timor Timur.

Sikap adaptif rezim Orde Baru pada budaya populer Barat tampak jelas pada mudahnya mendapatkan produk rekaman musik Barat di pasaran. Bersamaan dengan itu, muncul pula stasiun-stasiun radio swasta yang gencar memutar lagu-lagu rock n roll. (hlm. 28).

Perkembangan musik rock di tanah air yang begitu pesat kemudian melahirkan sejumlah grup musik rock. Tahun 1970-an merupakan tonggak awal perkembangan band-band rock tanah air yang ditandai dengan kemunculan band-band seperti God Bless, AKA, Giant Step, Bentoel dan sejumlah band lain.

Sebagaimana para pendahulunya di daratan Eropa dan Amerika, band-band rock tanah air itu pun membawa semangat yang sama, yakni kritik dan perlawanan sosial. Meski masih samar-samar, banyak lirik lagu dari band-band rock tanah air kala itu yang memuat kritik terhadap kondisi sosial-politik di masa Orde Baru. Harry Roesly, dengan album avantgarde-nya Philosophy Gank adalah salah satunya. Namun, lantaran kritik yang disampaikan masih tersamar dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Inggris, pemerintah Orde Baru pun cenderung membiarkan.

Sikap kritis dan melawan itu pula yang dilanjutkan oleh band-band rock yang muncul belakangan di tahun 1990-an. Slank, Boomerang dan PAS adalah tiga band dengan lirik-lirik lagu yang penuh dengan aroma kritik sosial-politik. Slank yang dikenal dengan lagu-lagu berlirik lugas bahkan lebih mirip sebagai aktivis sosial ketimbang semata musisi. Lagu mereka, “Gosip Jalanan” sempat membuat polemik di kalangan anggota DPR lantaran dinilai menghina lembaga tersebut.

Rock dan Kapitalisasi Perlawanan

Meski lekat dengan atribut-atribut megah, musik rock pada dasarnya adalah komoditas budaya populer yang kemunculannya tidak bebas dari pengaruh globalisasi ekonomi (hlm. 122). Mengutip pendapat Jost Smiers, Sumrahadi menyatakan bahwa dunia budaya hari ini ialah dunia tempat konglomerat budaya mengendalikan dan menyebarkan bentuk budaya tertentu. Merekalah yang menentukan apa yang layak dan tidak layak bagi telinga kita.

Kerja-kerja seni kemudian menjadi kerja produksi yang pada umumnya berlandaskan pada ekonomi hasrat. Pertimbangan utamanya ialah bagaimana sebuah karya seni dapat diterima pasar dan mampu mampu mendatangkan profit secara finansial. Kondisi itu tentu menimbulkan ironi dalam subkultur rock, karena band-band yang dikenal karena karyanya yang kritis pada sistem kapitalisme pun pada akhirnya terjebak dalam lingkaran kapitalisme itu sendiri.

Melalui buku ini, Sumrahadi berhasil menunjukkan sisi sosiologis musik, terutama rock. Dia berhasil menunjukkan bahwa musik rock bukanlah sekadar musik hiburan, dengan vokal mendayu-dayu dan lirik bertema cinta melulu. Lebih dari itu, musisi rock dan musik yang mereka hasilkan merupakan bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang berperan aktif dalam bergulirnya perubahan sosial. Peran mereka, para musisi rock dalam struktur gerakan masyarakat sipil, barangkali seperti intelektual organik dalam konsepsi Antonio Gramsci.

Meski demikian, harus diakui bahwa dalam upayanya melakukan kritik sosial-politik itu musik rock harus berkompromi dengan pasar dan pemain dalam industri musik. Tidak jarang mereka menjadikan isu kritik sosial dan perlawanan itu sebagai komoditas ekonomi. Kompromi inilah yang tidak jarang menjadikan rock kehilangan esensinya dan hanya berakhir sebagai artefak tren gaya hidup semata.

Sebagai buku yang diolah dari hasil penelitian akademik untuk jenjang doktoral, buku ini menjanjikan pembahasan yang komprehensif. Sebagai pembaca, saya dimanjakan oleh limpahan data dan analisis teoretis yang tajam. Menariknya, dua hal itu tidak menghambat Sumrahadi untuk menhadirkan sebuah narasi yang mengalir dan enak untuk disimak.

Siti Nurul Hidayah

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!