Sosok Besar di Narasi Sempit

Peristiwa-peristiwa penting di masa lalu yang menjadi tonggak sejarah tidak berdiri sendiri. Salah satu penopangnya adalah orang-orang di balik peristiwa-peristiwa itu. Akan tetapi, dengan alasan tertentu ungkapan “yang besar tak disebut gelar, yang kecil tak disebut nama” menjadi masalah yang muncul ke permukaan. Sejarah sebagai penjelasan atau narasi (historiografi) tidak terlalu lega untuk dapat menampung seluruh nama-nama.

            Ketika sejarah dihadirkan sebagai narasi, subjektivitas akan terlibat. Salah satunya tampak dari siapa saja sosok yang disertakan di dalam narasi itu. Biasanya nama-nama yang disertakan adalah mereka yang memiliki posisi utama dan berstatus sebagai konseptor atas sebuah peristiwa. Apalagi sejarah sebagai narasi besar, seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah, tentu tidak dapat menghabiskan masa untuk menjelaskan satu per satu tokoh yang mengisi peristiwa itu.

            Penyertaan nama-nama tokoh di dalam historiografi juga sejatinya tidak selalu menunjukkan kemuliaan. Sebagaimana lakon drama, ada karakter protagonis dan antagonis. Beberapa nama justru disajikan hanya agar masyarakat mengingatnya dengan benar sebagai pengkhianat, pemberontak, dan ragam konotasi buruk lainnya. Pada kondisi demikian, mereka yang tidak dijelaskan sosoknya sungguh beruntung. Padahal boleh jadi, keburukan mereka melampaui tokoh-tokoh yang ditampilkan pada narasi.

            Syahdan, hadir atau tidaknya sosok-sosok yang menopang peristiwa sejarah berpengaruh terhadap memori yang dibangun pada masyarakat. Hal itu terkait dengan bagaimana orang-orang di dalam sejarah dikenang, untuk selanjutnya dapat menjadi pelajaran. Para pemberontak dan pengkhianat bangsa bernasib baik jika lenyap dari historiografi, lain halnya dengan mereka yang berdiri untuk sebesar-besarnya kelangsungan bangsa. Sekecil-kecilnya peran mereka di dalam perjalanan sejarah bangsa, khalayak tetap harus memandang mereka sebagai sosok yang besar. Harus ada upaya sungguh-sungguh agar mereka dapat memiliki ruang di dalam historiografi agar napas keteladanan mereka terus hidup melampaui waktu. Oleh karena itu, komitmen dan konsistensi adalah syarat menciptakan ruang itu.

Berbagi Ruang dalam Sejarah Lokal

             Seorang dosen sejarah pernah berujar bahwa sejatinya sejarah itu adalah tentang diri sendiri dan baru berguna jika dapat bermanfaat dapat membantu mengenali dirinya sendiri. Akan tetapi yang saat ini terjadi justru kebalikannya, masyarakat—terutama siswa di sekolah-sekolah—lebih mengenal tokoh-tokoh di luar pulau bahkan dunia daripada yang dekat dengan dirinya. Dan sangat boleh jadi, tidak sedikit yang buta sama sekali perihal sejarah keluarganya atau yang paling sederhana seperti bagaimana kedua orangtuanya bertemu sehingga dia terlahir ke dunia.

            Pelajaran sejarah di Indonesia memang telah lama berfokus kepada sejarah yang tersentralisasi demi terwujudnya persatuan nasional. Prof. H.M. Yamin pada tahun 1950-an bahkan sengaja memberi interpretasi sosok Gajah Mada sebagai simbol untuk itu, tanpa memedulikan narasi dan memori yang hidup dalam konteks lokal yang tidak bersepakat dengannya, seperti di Lhokseumawe misalnya. Hal itu dapat dianggap wajar mengingat pada kurun tersebut banyak terjadi pemberontakan dan aksi separatis, sebagai konsekuensi dari sebuah negara yang baru lahir. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah historiografi seperti itu menjadi ajeg selama periode-periode berikutnya sehingga sejarah dan tokoh sejarah lokal sering teralienasi dari masyarakatnya sendiri untuk dan atas nama kepentingan yang lebih luas.

            Sebagaimana dimafhumi bersama bahwa sejarah nasional teramat sempit untuk menampung tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa historis. Oleh karena itu, sejarah lokal seharusnya dapat menjadi solusi bagi keterbatasan ini. Eksplorasi terhadap sejarah lokal semestinya digalakkan baik dalam penulisan maupun pengajaran. Tokoh-tokoh itu dapat dibahas secara lebih leluasa dan gamblang, bahkan sangat mungkin memunculkan tema-tema baru yang memperkaya historiografi Indonesia. Menukil Murdiyah Winarti (2017) dalam Sejarah Lokal di Indonesia: Harapan dan Tantangan bahwa sejarah lokal juga jauh lebih mudah menularkan nilai-nilai kepada masyarakat sebab kedekatannya dengan lingkungan di mana masyarakat itu menetap. Tidak sedikit yang sudah mengupayakan penulisan sejarah pada ranah ini, namun masih perlu usaha lebih untuk mendekatkan tulisan itu kepada publik.

Dekat tapi Berjarak: Revolusi Kemerdekaan di Sumatra Utara

            Pengalaman mengajar di sekolah dan membawakan materi seputar revolusi kemerdekaan menuntun penulis kepada pandangan bahwa masyarakat kita masih cukup berjarak dengan pengalaman historis di sekitarnya. Misalnya saja terkait dengan bagaimana proses kemerdekaan sampai dan diterima di masing-masing daerah pada masa silam. Bukan suatu hal yang mengejutkan dengan keterbatasan alat dan akses komunikasi, kabar kemerdekaan sampai dalam kurun waktu yang berbeda-beda di wilayah-wilayah Indonesia yang lain. Sebagai contoh, di Sumatra Utara kemerdekaan baru diterima dengan baik dan diproklamirkan dua bulan setelah Proklamasi Soekarno di Jakarta.

            Ada pula tanah lapang yang dewasa ini hanya diingat sebagai tempat berwisata, kumpul komunitas, berolahraga, dan atau kulineran. Meskipun namanya adalah Lapangan Merdeka, namun masih banyak yang tidak sadar bahwa dahulu kemerdekaan benar-benar pernah diproklamirkan di sana. Sementara di seberangnya berdiri bangunan tua yang juga hanya dianggap sebagai peninggalan era Kolonial Belanda dan dijadikan penginapan, tanpa tahu bahwa pada awal masa kemerdekaan dijadikan markas bagi tentara sekutu, yang mengolok-olok pemuda Indonesia saat mengibarkan bendera Merah-Putih. Jika peristiwa sejarah yang masih didapati jejak historisnya dan dekat sekali dengan masyarakat itu saja tidak diingat baik, maka tentu jangan berharap banyak ada yang mempertanyakan tokoh di baliknya. Hal itu misalnya terkait dengan sosok yang menginisiasi proklamasi di Medan dan mengibarkan bendera Merah-Putih pada waktu itu, sebagaimana yang mudah sekali ditemui dan dihafal mati dari sejarah nasional.

            Jangan-jangan keterasingan sejarah dari masyarakat juga dikarenakan jarak yang dirasakan oleh mereka terhadapnya. Masyarakat kita diajak untuk mengingat dan mengapresiasi sesuatu yang jauh dari lingkungannya. Oleh karena itu, wajar jika mereka tidak melihat celah-celah kebermanfaatan di sana. Sementara itu, orang-orang besar yang mempertaruhkan hidup untuk keamanan dan kelanggengan hidup generasi setelahnya semakin dilupakan. Padahal sangat mungkin, sosok besar itu adalah bagian dari sejarah keluarga dan atau teman-temannya sendiri.

Muhammad Alif Ichsan
Latest posts by Muhammad Alif Ichsan (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!