
Ketika kuliah, saya dan kawan-kawan sering makan soto rembang di dekat kampus. Karena porsinya yang banyak, sementara keunggulan lain di tempat itu adalah gorengan, saya sering memindahkan soto di mangkuk saya ke mangkuk kawan, dan biasanya disambut dengan sukacita. Tapi, suatu ketika seorang kawan berkata bahwa dia justru terbebani dengan hal yang saya lakukan. Ketika saya tanya kenapa, jawabnya karena dengan memindahkan soto itu artinya saya memindahkan tanggung jawab kepadanya.
Saat itu, saya merasa kawan saya berlebihan. Namun, beberapa tahun kemudian, saya mulai memahami pola pikirnya.
Lain waktu, seorang kawan menolak tawaran dispenser gratis. Si pemberi kaget. Sementara penolakan itu alasannya sederhana: benda itu justru akan membebaninya dengan tambahan tagihan listrik.
Pemberian, dalam bentuk apa pun, tidak selalu diterima dengan baik. Demikian pula dengan informasi. Termasuk, informasi mengenai isi buku yang belum dibaca seseorang. Atau, dikenal dengan istilah spoiler.
***
Dalam linguistik, ada empat maksim yang kemudian berkembang dan dikenal dengan sebutan prinsip kerja sama dalam berkomunikasi. Memberi spoiler adalah pelanggaran terhadap prinsip kuantitas karena telah memberikan informasi berlebihan yang tidak dibutuhkan oleh penerima. Atau, belum tentu dibutuhkan.
Lalu Semuanya Lenyap yang judul sebelumnya, Sepuluh Anak Negro, dianggap mengandung unsur SARA, merupakan salah satu karya terbaik Agatha Christie. Bercerita mengenai sepuluh orang yang diundang ke sebuah pulau terpencil. Satu per satu dari mereka mati. Kalian tidak akan menyangka jika ternyata pelakunya adalah si X.
Salah satu hal yang hilang dari pembaca setelah membaca review seperti ini adalah keterlibatan emosi. Memulai membaca buku itu dengan mengetahui bahwa X adalah si pelaku sejak awal tentu berbeda dibandingkan dengan memulai tanpa mengetahui informasi tersebut.
Tidak ada lagi efek giringan prasangka yang diarahkan penulis kepada pembaca, perasaan jengkel ketika terjadi intrik di antara para tokoh karena kita sudah mengetahui siapa yang berpura-pura. Jika hal ini hilang, pembaca tidak akan belajar bahwa berprasangka adalah hal yang mengerikan dan sikap berhati-hati sangat diperlukan. Efeknya akan lebih seperti menonton sinetron: isi hati tokoh yang tidak baik sudah terdengar oleh penonton karena terekspos lengkap dengan alis terangkat, mata melotot, plus zoom in zoom out.
Ketika pembuat review sudah menyingkap rahasia yang disimpan penulis untuk dinikmati pembaca seperti contoh di atas, maka wajar jika kemudian tulisan tersebut menuai banyak kecaman. Karena, sebagian pembaca merasa haknya untuk menikmati kisah dalam buku tersebut sudah terenggut. Memang, sebagian yang lain akan merasa biasa saja dan bahkan menganggap orang yang merasa terganggu dengan informasi tersebut berlebihan. Padahal, pemberi spoiler adalah salah satu kejahatan yang dibahas dalam chapter komik Crayon Sinchan dengan Pahlawan Bertopeng. Artinya, ini masalah serius.
***
Seorang kawan, ketika melihat buku yang sepertinya menarik selalu mengecek beberapa lembar di halaman belakang untuk mengetahui ending-nya, baru setelah itu memutuskan membaca buku itu atau tidak. Sementara kawan yang lain, tidak jadi membaca sebuah buku yang dipinjamnya jauh-jauh dari perpustakaan daerah karena diberi bocoran mengenai kisah di dalam buku tersebut. Dan keduanya duduk di kanan dan kiri saya selama ini.
Jadi, bahkan urusan spoiler pun kembali lagi kepada masing-masing tipe pembaca. Bagi sebagian orang, yang mungkin memang lebih fokus pada proses daripada hasil, spoiler justru menambah rasa penasaran. Namun, bagi sebagian yang lain, proses tersebut tidak bisa lagi dinikmati ketika hasilnya sudah diketahui. Larangan tidak tertulis yang perlu diperhatikan oleh para pembuat review buku untuk tidak memberikan bocoran kisah yang menjadi salah satu penentu efek kejutan adalah demi menghargai golongan pembaca yang disebut belakangan.
Solusi yang dapat disepakati kedua belah pihak dan aman hingga saat ini tentu adalah peringatan bahwa dalam tulisan itu terdapat spoiler. Selanjutnya, terserah pembaca untuk melanjutkan membaca atau tidak.
Banyak orang yang tergerak untuk berubah setelah membaca sebuah buku. Nah, pemberi spoiler bisa jadi telah mengambil kesempatan pembaca untuk mendapat pengalaman berimajinasi dan mendapat pembelajaran dari sebuah buku. Seperti saya bilang, ini serius.
Seperti halnya manusia yang beraneka ragam, pembaca pun demikian. Karena itu, penulis review perlu memahami bahwa tidak semua hal dalam sebuah buku perlu disampaikan. Jika memang dirasa menarik, menahan diri dengan memberi beberapa petunjuk sudah cukup. Biarkan masing-masing pembaca menemukan keajaiban sendiri pada tiap buku. Seperti kata Calpurnia dalam To Kill A Mocingbird: “Tidak selalu perlu menunjukkan semua yang kita ketahui. Itu bukan sikap perempuan terhormat.”
Informasi yang berlebihan seringnya justru mengundang perkara. Apalagi, informasi yang sudah didengar atau dibaca lalu sampai ke otak dan tersimpan di memori—tidak seperti soto atau dispenser—tidak bisa dikembalikan. Mengkhawatirkan, bukan?
- Penting Tak Penting Perihal Teenlit - 26 October 2016
- Membaca Karya Fiksi Memang (Kadang) Tidak Berguna - 28 September 2016
- Imajinasi dalam Rungkup Teknik Berkisah dan Pesan yang Ingin Disampaikan - 12 June 2016
Frida 'vree' Kurniawati
Ups *segera ngubek2 review di arsip blog*
Lib Flow
Ahahaha… lucunya.
Izhary
Warning, the following post is rated ‘S’ for Spoilers. 😀