Sssttt…; Review Film A Quiet Place (2018)

Sssttt…; Review Film A Quiet Place (2018)
A Quiet Place (2018). Sumber gambar: IMDB

Sebuah cerita, dalam bentuk apa pun—baik lisan atau tertulis, atau dalam medium gabungan sebagai film—terkadang amat mengesankan pendengar, pembaca, atau penontonnya gara-gara satu-dua adegan yang bisa mereka identifikasi sebagai “pengalaman diri sendiri”. Subjektif memang, dan oleh karenanya tak ada rumusan baku yang bisa sukses diterapkan dari satu kasus ke kasus lainnya. Pintar-pintarnya pengemas cerita saja, toh karena itu mereka (membanggakan diri) sebagai orang kreatif (ada kementerian khususnya lho, enggak mau kalah sama kementerian embuh yang ngopreki perkara absurd bertajuk Revolusi Mental itu).

Mencari Hilal (2015) besutan Ismail Basbeth misalnya. Prek, lah, sama narasi besar toleransi segala macam yang diecer Denny J. A. itu, film itu jelas mengesankan saya (dan mungkin setiap anak atau orang tua) karena menyodorkan detail hubungan bapak dan putranya yang berjurang terjal. Meski idenya jelas terpengaruh oleh film The Great Journey (2004), tapi usaha untuk menampilkan momen-momen khas lokal yang familier dengan keseharian kita lumayan berhasil bikin terharu. Dalam Terms of Endearment (1985), film jadul banget yang dulu saya tonton via VCD (wahai generasi milenial, kalian tahu kan kayak apa VCD itu?) masih membekas dalam memori saya gara-gara adegan pembukanya: ada bayi yang sedang pulas tidur di buaiannya, tapi  keantengannya bikin cemas ibunya, “Jangan-jangan dia mati,” pikirnya. Maka, untuk memastikan, dia mencubit pipinya. Nangislah si bayi, walhasil si ibu harus menenangkannya kembali supaya si bayi… tidur lagi.

Gagasan tentang rasa takut setiap orang tua terhadap kemungkinan gagal menjaga anaknya inilah yang secara sublim dikemas ulang dalam genre horor A Quiet Place. Tidak sulit kok untuk langsung tahu bahwa film ini sejatinya adalah sebuah parabel (cerita rekaan untuk menyampaikan ajaran agama, moral, atau kebenaran umum dengan menggunakan perbandingan atau ibarat). Makhluk alien buta dalam film berdurasi 90 menit (efektif banget) itu adalah metafora kuasa misterius nasib yang bisa menimpa siapa saja, yang secara telengas bisa mematikan siapa pun tanpa pertimbangan moral apa pun, dari orang uzur sampai anak kecil bahkan bayi yang baru lahir. Kalau dalam Terms of Endearment Shirley MacLaine memastikan bahwa anaknya masih hidup dengan membuatnya bersuara, kali ini kebalikannya. John Krasinsky dan Emily Blunt harus melindungi anak-anaknya tetap hidup justru dengan memastikan mereka tidak bersuara.

Begini latarnya: dunia sedang di ambang kepunahan. Suasananya begitu hening dan ganjil. Di awal cerita, hanya dari sobekan-sobekan koran kita diberi tahu bahwa ada sesuatu yang menyerang Bumi. Atmosfernya mirip film-film bergenre horor atau apokalips model 28 Days Later (2002), atau I am Legend (2007), atau Signs (2002), dan The Happening (2008)-nya M. Night Shyamalan. Namun, berbeda dengan semua film berjenis demikian, film ini tidak menampilkan hebohnya tentara-polisi (Negara, pihak berwenang) wara-wiri menyelamatkan rakyat (Amerika, atau orang Amerika menyelamatkan dunia), ledakan penghancuran di mana-mana, orang lari tunggang-langgang pada menyelamatkan diri dan akhirnya menyerang balik alien, zombi, atau apa pun wujudnya, dengan spektakuler.

Hanya ada bapak-ibu dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil, salah satunya bisu-tuli sehingga mereka sudah terlatih berkomunikasi dengan bahasa isyarat, tanpa bersuara. Aliennya terlalu sensitif dengan suara. Apa pun yang menimbulkan suara bakal disambarnya. Mungkin cocok diternakkan menjelang kegaduhan Pemilu 2019 ini, buat menguntal para buzzer dumay yang “kalau enggak ribut, ya enggak dapat transferan” itu, ataupun buzzer gratisan yang, kok mau-maunya, ikutan meramaikan tapi sakjane enggak dapat apa-apa.

Aturan “Jangan Bersuara” itu menguji para tokohnya dengan sangat ketat sepanjang durasinya yang efektif, yakin deh, kalau lebih dari 90 menit bakal ambyar plotnya. Ini lazim dalam tradisi film horor. Contohnya A Nightmare on Elm Street (1984) yang punya aturan “Jangan Tidur,” atau “Jangan sebut namanya tiga kali di depan cermin” dalam film Candyman (1992). Di awal film mereka kehilangan anak bungsu yang melanggar aturan karena rasa penasaran khas anak kecil, mendengarkan bunyi nguing-nguing pesawat mainan. Bagian berikutnya adalah dilema khas orang dewasa: meski di ambang ancaman kepunahan, naluri menjaga keberlanjutan hidup manusia tak terbendung: sang ibu hamil lagi. Mungkin juga karena stok alat kontrasepsi habis, sih, waktu itu.

Ketegangan makin meningkat di seputaran waktunya si jabang bayi mbrojol. Di dalam rumah, Emily Blunt berjuang sendirian ketika ada alien yang sudah terpancing suara. Di bagian ini, selain ancaman alien, penonton dibikin ngeri-ngeri ngilu oleh ancaman paku yang mencuat. Lagi-lagi, detail familier seperti inilah yang bikin kita merasa berempati dengan ceritanya. Untuk bagian ini saya ingat betul sewaktu ibu saya hamil lagi, bapak saya memperbaiki pijakan tangga supaya tidak licin atau yang semacam itu. Sang bapak dan kedua anaknya yang telat mengetahui datangnya ancaman berjibaku menyelamatkan sang ibu dan calon adiknya, dan berpuncak pada pilihan eksistensial.

Semua pelakon bermain sangat bagus dan pas (cuma berlima plus orok. Ada dua lagi sih, tapi numpang lewat saja). Kita bisa merasakan emosi ketakutan dan saling cinta itu di ekspresi mereka. John Krasinski dan Emily Blunt di kehidupan nyatanya adalah pasangan suami istri yang baru melahirkan anak lagi. Salut buat Krasinski yang dibesarkan lewat film bergenre komedi romantis. Saya tahu aktingnya sejak serial The Office (versi AS). Setelah ini, perannya sebagai Jack Ryan dalam serial TV bergenre techno-thriller adaptasi dari novel Tom Clancy patut ditunggu.

Pemeran anak-anaknya juga bisa memunculkan emosi gamang dan takut menghadapi kondisi dunia yang berubah secara mendadak dan hubungan yang terancam oleh rasa bersalah atas kehilangan salah satu anggota keluarga. Tak ada polah menjengkelkan seperti Jaden Smith dalam The Day The Earth Stood Still (2008) (dalam latar cerita situasi hidup-mati, menonton akting anak Will Smith itu jadi teriak ke layar, “Halah, lu cepet mati aja deh!).

“Aktor” lain dalam film ini adalah musik dan tata suara yang efektif. Jadi, kalau Anda menonton di bioskop, pilihlah yang tata suaranya paling yahud, yang Dolby Atmos, lah, supaya lebih marem. Soal aliennya, ya biasa saja, toh hanya metafora.

Comments

  1. Husnul Reply

    Jack Ryan, a Diplomatic Historian, Expert on Russia, konfirmasi atas bayangan karir ku di 30-an……Hahaha….. (Salah sendiri nyebut Ryan di tulisan mu….aku gak jadi komen untuk Film nya)

Leave a Reply to Husnul Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!