Beberapa jam setelah kabar meninggalnya fisikawan berpengaruh dunia abad ini, Stephen Hawking, merebak di berbagai media, saya menyatakan ini di sebuah forum: “RIP, Hawking”. Dan dengan segera, reaksi yang jauh dari dugaan saya muncul, “Stephen Hawking ateis!”, “Mana pantas orang kafir didoakan.”, dst. dst. Untuk beberapa detik saya tercengang. Hawking menderita penyakit yang seharusnya sudah membunuh dia 45 tahun lalu, tapi dia bertahan, dan dengan segala keterbatasan tubuhnya, dia berhasil mengembangkan teori-teori ilmu pengetahuan, bahkan melahirkan beberapa buku yang dengan segera menjadi kanon dunia sains. Tapi, saat dia meninggal reaksi sebagian orang adalah: huuu dasar kafir, sana tuh ketemu Tuhan.
Ilmu Pengetahuan di Zaman Keemasan Islam
Ada satu hal yang menonjol pada zaman keemasan Islam dulu, yang terjadi antara abad 7M–14 M, pada masa—setidaknya—empat dinasti kekhalifahan, Umayyah, Abbasiyah, Seljuk, dan Fathimiyyah, yakni, betapa hausnya orang-orang pada masa itu dengan ilmu pengetahuan. Di Arab ada satu pepatah populer: tak seorang pun bisa menyembunyikan oase dari orang Arab, satu pepatah yang merujuk pada tingginya kebutuhan orang Arab akan sumber air berlimpah, mengingat lingkungan hidup mereka sebagian besarnya gurun. Dalam abad keemasan itu, bisa dikatakan pepatah itu berkembang menjadi: tak seorang pun bisa menyembunyikan pengetahuan dari orang Arab, bahkan meski pengetahuan itu tersembunyi jauh di bintang tsurayya.
Dalam hal pengembangan pengetahuan, Dinasti Umayyah adalah pelopornya. Mereka mencari buku-buku karya ilmuwan besar ke berbagai pelosok negeri dan melakukan penerjemahan besar-besaran. Pihak kekhalifahan bahkan rela membayar sangat mahal untuk sebuah buku karya cendekiawan besar. Dalam hal ini, yang dinilai adalah kandungan naskahnya, bukan apa agama penulis naskahnya. Yah, kalau kepercayaan si penulis yang jadi pertimbangan, maka tak banyak yang bisa dipelajari umat Islam pada masa itu, karena rata-rata buku ditulis orang non-Islam, seperti orang-orang Yunani yang beragama Kristen, orang-orang Saba yang penyembah bintang dan orang-orang India yang beragama Hindu dan Budha.
Tapi, ilmu pengetahuan tetap saja ilmu pengetahuan, siapa pun yang mengembangkannya. Maka, naskah-naskah ilmu kedokteran yang ditulis Ahrun, seorang pendeta Kristen di Iskandariyah, naskah astronomi Siddhanta dari India, karya-karya filsafat Aristoteles dan karya-karya para ilmuwan lainnya, diterjemahkan besar-besaran. Khalifah bahkan membentuk tim penerjemah, yang pada masa Khalifah Al Ma’mun diketuai oleh Hunayn Ibn Ishaq, seorang sarjana terhormat pada masanya yang merupakan penganut sekte Ibadi, Kristen Nestor. Di bawah Hunayn, terjadi penerjemahan masif seluruh tulisan ilmiah Galen tentang anatomi, semua tulisan Hippocrates dan Plato. Bisa dikatakan, dunia saat ini berutang besar pada Al Ma’mun dan Hunayn, yang membuat rantai ilmu pengetahuan itu tidak terputus.
Selain Hunayn, kekhalifahan juga mengandalkan Tsabit bin Qurrah, seorang sarjana sangat cerdas di masanya. Apa dia orang Kristen? Tidak. Islam? Tidak. Dia seorang Saba, yang menurut catatan Philip K. Hitti, merupakan penyembah berhala dari Harran. Orang Saba adalah penyembah bintang, sehingga astronomi dan matematika merupakan bidang yang sangat menarik perhatian mereka. Tsabit dan murid-muridnya banyak menerjemahkan karya-karya matematika dan astronomi, seperti karya Archimedes dan Apollonius. Begitu besarnya perhatian kekhalifahan pada penerjemahan karya-karya para ilmuwan besar ini, sehingga para penerjemah diberi imbalan emas seberat buku yang diterjemahkannya.
Sekarang mari kita berandai-andai.
Apa jadinya kalau pihak kekhalifahan pada masa itu mempertimbangkan apa kepercayaan seorang ilmuwan sebelum menerjemahkan karya-karyanya? Mungkin tak akan banyak yang bisa dipelajari umat Islam di masa itu mengingat nyaris semua buku, dari kedokteran sampai sastra, anatomi sampai astronomi, ditulis oleh orang-orang non-Islam. Justru karena kekhalifahan lebih fokus pada kandungan buku, maka peradaban ilmu pengetahuan Islam bisa melesat secepat meteor. Ilmu pengetahuan hanya akan hidup di masyarakat yang mau merawatnya. Itulah yang terjadi di dalam di masa keemasan Islam dahulu.
Peradaban Buku
Ziaduddin Sardar menyebut peradaban Islam itu sebagai civilisation of book, peradaban buku. Apa yang membuat kaum Arab gurun yang nyaris terlupakan dalam sejarah, bisa tampil sebagai penguasa sepertiga dunia yang kekuasaannya bertahan hingga—setidaknya—800 tahun?
Sesungguhnya, yang terjadi pada masa-masa awal Islam adalah sebuah revolusi kebudayaan yang dicetuskan oleh Muhammad Rasulullah. Pada masa awal Islam, menurut catatan Muhammad Husein Haekal, hanya 17 orang Quraisy yang bisa baca tulis. Keahlian membaca dianggap remeh, sangat tidak penting. Dalam satu riwayat disebutkan, Umar bin Khattab, yang berasal dari salah satu keluarga paling terpelajar di Mekkah, pada masa kecilnya tidak terlalu disukai oleh ibu teman-temannya. Sebabnya satu: karena Umar bisa membaca.
Sekarang bayangkan, di tengah masyarakat seperti ini al-Qur’an turun dengan perintah pertamanya adalah Iqra’. Apa bukan revolusi itu namanya? Pantaslah, salah satu kerja besar Rasulullah dalam halaqah-halaqahnya dahulu adalah mengajarkan baca tulis pada pengikutnya. Siapa para pengajarnya? Rata-rata orang nonmuslim, karena pada saat itu, rata-rata yang bisa baca tulis adalah mereka.
Pondasi iqra’ kedua dilakukan oleh Dinasti Umayyah dengan melakukan penerjemahan besar-besaran karya-karya para ilmuwan. Kerja keras ini diikuti dengan pendirian berbagai perpustakaan. Perlahan, bangsa yang tadinya nyaris terlupakan, bangkit menjadi bangsa pemegang pengetahuan. Pengetahuan adalah kekuatan! kata Maulana Jalaluddin Rumi. Maka tumbuhlah bangsa Arab, dan akhirnya, masyarakat Islam pada masa itu, menjadi negara superpower.
Pertanyaannya, mungkinkah peradaban Islam pada masa itu bisa begitu jaya, jika sejak awal mereka pilah-pilih orang untuk diserap ilmunya? Mereka justru mementingkan menyerap ilmunya, lalu memilih mewarnai ilmu itu dengan tauhid dan mengembangkannya. Hal ini terlihat—di antaranya—dalam teori asal mula makhluk hidup yang awalnya dikembangkan Ibnu Jahiz dan Ibn Miskawayh dari teori Plato.
Hawking
Kembali ke Hawking, di luar apa pun kepercayaan hidupnya, tak bisa dipungkiri dia adalah seorang fisikawan besar abad ini. Buku-bukunya layak dipelajari. Sebagai sesama manusia, paling jauh kita hanya sampai pada sikap lakum dinukum waliyaddin. Untukmu keyakinanmu, untukku keyakinanku. Tapi dalam ranah sains, kita tak mungkin merendahkan kecemerlangannya. Di dunia ini, jelas dia seorang guru besar sains, sisanya, biar itu jadi urusan penciptanya.
- Stephen Hawking dan Peradaban Buku - 23 April 2018
- Perihal Waktu: Mekanisme “Reaksi” yang Membentuk “Realitas” - 20 October 2016