Melalui Patrick, Stephen Hillenburg Mengajarkan Pentingnya Perasaan

Bahwa bintang laut tak punya otak, saya tahu dari serial anak SpongeBob SquarePants. Bintang laut bernama Patrick itu adalah karib si spons berwarna kuning bernama SpongeBob. Keduanya bersahabat. Sebagaimana dua atau lebih orang yang bersahabat di dunia nyata, sesekali Patrick dan SpongeBob terlibat perselisihan; seseorang memutuskan pergi.

Dalam cukup banyak episode, yang sering pergi adalah SpongeBob. Bangun cerita yang masuk akal karena memang seharusnya begitu. Sing waras ngalah, kata orang Jawa. Yang lebih paham soal memang mau tidak mau harus sesekali mengalah. Berdebat dengan teman yang sama sekali tidak punya basis argumentasi yang kuat memang harus begitu. Jangan diteruskan, tinggalkan percakapan. Lalu kembali. Bukankah sahabat harus berlaku demikian?

Tetapi, apakah dunia memang memerlukan orang-orang yang terus berpikir? Maksud saya, apakah untuk dapat menikmati hidup kita harus selalu berpikir?

Di pentas politik, di Indonesia akhir-akhir ini, seluruh orang berdebat tentang siapa yang mereka pikir pantas dipilih menjadi pemimpin. Setiap narasi ditawarkan dengan sekumpulan argumen yang disiapkan sungguh-sungguh. Yang memilih atas dasar “suka” dianggap tidak cerdas, tidak memikirkan nasib bangsa, egois. Lalu kita tidak melibatkannya dalam percakapan selanjutnya karena: tidak ada gunanya berdebat dengan orang bodoh. Hmmmm….

Dan saya mendengar kabar bahwa Stephen Hillenburg tutup usia. Tokoh penting di balik lahirnya tempat bernama Bikini Bottom itu telah pergi untuk selamanya. Saya bersedih. Mengenangnya melalui ajarannya tentang perasaan yang dia sampaikan melalui Patrick. Bintang laut yang tidak punya otak itu.

 

Membahas “Kebodohan” Patrick

Patrick tidak cerdas. Paling tidak, itu yang akan kita pikirkan. Karena Patrick tak punya otak. Tetapi sesungguhnya, kalau kita terus bersepakat bahwa takaran kecerdasan adalah kemampuan menggunakan otak dengan baik, maka Patrick adalah contoh yang tepat dari apa yang oleh Rusdi Mathari tulis sebagai judul bukunya: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tidak Punya (Mojok, 2016). Bagaimana mengukur kepintaran dan kebodohan dari sesuatu, seorang, sebinatang yang tidak punya otak?

Maka Patrick tidak cerdas, juga sekaligus tidak bodoh. Dia tidak punya otak dan (barangkali) memang tidak membutuhkannya. Untuk apa semua pikiran-pikiran liar itu ketika yang terbaik yang kau punya adalah yang ada di hadapanmu saat ini? Bagi Patrick, Bikini Bottom dan sebuah rumah dan sebuah televisi dan sebuah warung dengan SpongeBob sebagai pekerjanya adalah sepenuh-penuhnya hal yang dia perlukan. Lain tidak.

Karena itulah, bagi Patrick, tidak ada satu pun hal yang sangat rumit. Ketika SpongeBob pergi karena sebuah perselisihan, Patrick tidak ambil pikir. Menikmati hari-harinya, sesekali merasa kesepian, sesekali pantatnya sakit karena terlalu lama duduk di depan televisi, tetapi dia tetap hidup. Ketika SpongeBob akhirnya kembali dan menanyakan yang Patrick lakukan ketika dirinya pergi, Patrick menjawab santai: “Menunggu kau kembali.”

Tetapi sesekali, Patrick hadir dengan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang dia jawab sendiri (juga dengan santai), justru ketika kita (termasuk SpongeBob) begitu berusaha memikirkannya, mencari jawaban yang paling masuk akal, sekaligus ribuan alasan penguat.

 

Patrick            : Taukah kau apa yang lebih lucu dari 23?

SpongeBob   : Apa itu?

Patrick            : 24!

 

Jangan Cari Pesan di Belakang Teks

Pada titik tertentu saya berpikir bahwa Patrick adalah tokoh paling berhasil yang diciptakan Stephen. Dia hadir di tengah masyarakat yang terlampau banyak berpikir, yang beranggapan bahwa setiap penampilan publik seseorang (politisi, misalnya) selalu mengandung unsur lain di belakangnya. Bahwa baju putih dengan lengan digulung yang dikenakan Jokowi adalah simbol niat bekerja keras. Bahwa para menteri yang berlari-lari kecil di istana saat diumumkan namanya sebagai anggota kabinet adalah simbol bahwa niat bekerja cepat.

Akibat kebiasaan mereka-reka pesan di balik sesuatu yang tampak itulah, kita menjadi kecewa ketika situasi yang kita bayangkan tidak terjadi atau tidak benar. Lalu kita menyalahkan penggunaan simbol-simbol, padahal belum tentu itu adalah simbol. Hampir setiap hari, narasi-narasi yang muncul selalu berisi usaha menangkap pesan-pesan tersembunyi. Ketika Gisel bercerai dengan Gading, semua terlibat dalam usaha keras menemukan clue agar peristiwa itu tampak masuk akal sekarang. Seolah-olah, setiap hal harus masuk akal padahal kita juga bersepakat bahwa cinta itu soal rasa.

Di dunia sastra, usaha mencari pesan-pesan yang (diduga) disembunyikan penulis juga marak terjadi. Bahwa hal itu berguna bagi kritik sastra dan usaha pemajuan kebudayaan misalnya, “perlombaan” mencari pesan-pesan tersirat itu membuat sastra dan karya seni lainnya tidak dapat lagi dinikmati sebagai sesuatu yang menghibur, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang untuk itulah karya itu diciptakan.

Akibat lainnya adalah sastra akan dianggap kuat kalau mengandung “pesan-pesan” dan pada saat yang sama kita (juri, kritikus, pembaca kelas berat) lalu abai pada teknik penceritaan. Akibat lainnya lagi adalah proses penciptaan karya menjadi semakin berat karena khawatir akan dianggap “receh” jika pengarang hanya ingin menulis cerita; untuk itu dia berusaha keras menyisipkan pesan pada setiap karyanya.

Di luar sana, para pembaca umum merasa asing, terasing, seolah diasingkan dari karya di hadapannya. Lalu meninggalkan kegemarannya pada bacaan-bacaan sastra yang berat. Lalu para pemerhati merasa bahwa mereka-mereka itu sedang hendak menyerah pada kebodohan. Lalu kita berdebat sengit sekali. Tentang sastra, tentang pengaruhnya pada kecerdasan, tentang keharusan berkarya untuk memperjuangkan sesuatu, tentang kemandekan, tentang hal-hal lainnya yang seharusnya tidak perlu terjadi kalau saja kita tidak menjebak diri sendiri terlibat pada usaha-usaha menangkap pesan-pesan tersembunyi.

Mengapa kita sebaiknya tidak terlampau berusaha mencari pesan di belakang teks? Agar kita lebih sadar bahwa ada banyak teks yang sesungguhnya telah terang dengan sendirinya dan tidak sedang berusaha menyembunyikan apa-apa.

Suatu ketika Patrick bersiul ke arah seekor burung. SpongeBob yang melihat hal itu terkagum-kagum karena berpikir bahwa temannya itu bisa bahasa burung. “Itu bukan bahasa burung, SpongeBob. Itu bahasa Italia,” jelas Patrick. Seperti menampar. Saat itu tentu saja kepada SpongeBob yang terlampau rumit memberi arti pada siulan. Saat ini barangkali menampar kita, para pencari pesan-pesan tersembunyi.

Bukan apa-apa. Mencari pesan-pesan tersembunyi adalah usaha yang baik. Apalagi jika kita berhasil mewartakannya kepada dunia; pesan-pesan tersembunyi itu harus dimengerti banyak orang. Yang jadi soal adalah ketika hasil pencarian berujung pada ekspektasi. Hal yang tentu saja bisa seumpama peribahasa: jauh panggang dari api.

Mendengar janji politisi, atau melihat politisi tampil sangat ramah kepada rakyat kecil, kita berharap bahwa dia akan menjadi politisi yang baik. Yang mewakili wong cilik. Lalu kita menitipkan harapan-harapan. Meninggikan ekspektasi. Dan seterusnya, dan seterusnya. Rumit sekali. Kenapa kita tidak sesederhana Patrick saja? Misalnya dengan menganggap bahwa mereka sedang berbohong. Toh manusia sesekali bisa berbohong. Agar (atau asal?) terpilih.

Melalui Patrick, Stephen menyampaikan narasi terbalik. Bahwa berpikir belum tentu membuatmu ada. Yang diperlukan adalah perasaan. Seperti sebuah dialog dalam satu episode SpongeBob SquarePants:

 

SpongeBob   : Apa kamu yakin mau jadi bodoh untuk jadi temanku lagi?

Patrick          : Pengetahuan tidak akan bisa menggantikan persahabatan. Aku memilih jadi bodoh daripada harus kehilanganmu!

 

Misalkan tulisan ini terbaca sebagai usaha menangkap pesan tersembunyi atas apa yang hendak disampaikan Stephen Hillenburg melalui Patrick, saya tidak bisa apa-apa. Tulisan ini sesungguhnya sudah saya usahakan tampil terang benderang. Tetapi cerita bisa jadi apa saja di hadapan pembacanya. Selamat jalan, Stephen Hillenburg.

Armin Bell
Latest posts by Armin Bell (see all)

Comments

  1. freya Reply

    mantull

  2. Arif Reply

    Mantap gan, saya jadi tau sosok Patrik yg sebenarnya

  3. Anonymous Reply

    Saya juga tadinya merasa sosok patrick itu emang spesial, hanya saja ditutupi oleh fakta bahwa dia itu “bodoh”.

    -Selamat jalan Stephen Hillenburg-

  4. Deviyustiika Reply

    Mantap 👏

  5. Anonymous Reply

    Love patrick <3

  6. asti anwar Reply

    RIP stephen … 🙁

  7. Syahrul Reply

    Baguuuss

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!