Sumber Air Su Dekat Kakak! Iya kah?

Suatu ketika teringat lagu ketika masih zaman kanak-kanak. Begini katanya, “Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi” dan lain sebagainya. Saya tidak melanjutkan lagunya karena bisa jadi saya malah akan bernostalgia dengan syair lagu anak-anak tersebut. Sebenarnya, memulai tulisan ini dengan lagu, sekadar ingin menjadi pengingat kembali masa kanak-kanak ketika saya selalu diajarkan untuk mandi dan menggosok gigi setiap hari. Bisa jadi itu adalah gambaran ideal dari masyarakat modern saat ini (setidaknya itu yang diajarkan ketika saya kecil). Pengalaman hidup di ibu kota dengan kondisi iklim yang relatif panas sepanjang tahun, biasanya masyarakat mandi setidaknya satu kali dalam sehari. Selain itu kita juga diajarkan pentingnya air bersih untuk berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kebersihan pribadi. Pertanyaannya, bagaimana jika tidak ada air bersih untuk berbagai aktivitas bersih-bersih setiap hari?

Pertanyaan yang saya ungkapkan di atas sebenarnya mencoba menggambarkan pengalaman saya pribadi beberapa tahun belakangan ketika saya begitu menikmati perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia. Perjalanan itu ada yang dilakukan dengan tujuan penelitian sosial atau sekadar plesir ke daerah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Terkadang kenikmatan dari perjalanan tidak dapat digambarkan dan didapatkan ketika kita hanya melakukan rutinitas sehari-hari di kota. Itulah alasan mengapa begitu beruntungnya saya, bekerja sebagai peneliti yang bisa melakukan pekerjaan di berbagai daerah sambil menikmati jalan-jalan dan bergaul dengan penduduk lokal.

Kembali pada topik awal, soal mandi dan bersih-bersih pribadi. Di beberapa tempat yang saya kunjungi sebelumnya, terutama di daerah Indonesia Timur, sering kali saya dan warga tentunya merasa kesulitan dalam mendapatkan air bersih. Pada tulisan ini saya akan mencoba menggambarkan pengalaman pribadi saya yang berkaitan secara langsung dengan permasalahan mengenai air bersih pada masyarakat.

Pada tahun 2013, ketika itu saya sedang berjuang menyelesaikan tugas akhir sarjana di daerah Onekore, Ende, Nusa Tenggara Timur. Teringat ketika itu saya sedang melakukan wawancara mendalam dengan seorang informan di rumahnya yang berada di tengah kota. Ketika itu saya merasa ingin menggunakan toilet karena kebelet buang air besar. Akhirnya saya meminta izin pada tuan rumah untuk menggunakan toiletnya. Wajah panik tiba-tiba muncul dari informan seraya meminta anaknya mengantarkan saya ke toilet di belakang rumahnya. Seakan ragu-ragu, informan mengingatkan saya bahwa toiletnya tidak bagus dan airnya mungkin tidak ada. Pernyataan terakhir membuat saya yang awalnya tenang menjadi ikut panik. Kemudian saya tetap mencoba untuk menggunakan toilet. Sampai di dalam toilet, ternyata benar, air di dalam kamar mandi sangat sedikit, kalau dikira-kira hanya seperempat gayung kecil. Lalu saya berpikir, bagaimana saya bersih-bersih setelah buang air besar? Akhirnya saya mengurungkan niat dan kembali ke rumah tempat tinggal saya untuk menyelesaikan hal-hal yang perlu diselesaikan. Pertanyaannya, lalu bagaimana jika anggota keluarga di rumah tersebut akan menggunakan air untuk keperluan buang air besar?

Selanjutnya, teringat pada tahun 2015 ketika saya melakukan penelitian di Papua Barat. Hal ini benar-benar menarik karena setidaknya ada dua daerah yang membuat saya merasakan begitu bahagianya ketika kita memiliki air bersih. Ya, “sekadar” air. Daerah pertama yakni Kokas di Kabupaten Fakfak. Di desa ini saya dan beberapa rekan peneliti lainnya tinggal selama kurang lebih 2 minggu. Lalu, selama itu pula kami merasakan begitu sulitnya walau hanya ingin mandi. Sistem air di desa ini ternyata benar-benar mengandalkan hujan. Selain mengandalkan hujan, ternyata warga dapat membeli air dengan kiriman dari mobil tank khusus air, itu pun selama persediaan masih ada. Permasalahannya, selama kami di sana hampir tidak ada hujan, dan lagi mobil tank air hanya datang seminggu sekali. Bak air hanya terisi ketika mobil tank air datang seminggu sekali. Jadi kira-kira kami hanya mandi 2 kali seminggu. Ini pun kami anggap anugerah.

Kemudian kami berpindah pada daerah yang bernama Goras, masih di Kabupaten Fak-Fak seperti sebelumnya, namun kami harus menempuh perjalanan laut dengan long boat tradisional. Persoalan yang sama yakni air di sana hanya mengandalkan tadah hujan di sebuah sumur kecil. Sayangnya tidak semua warga memiliki sumur. Lebih sayangnya lagi, di rumah warga yang kami tinggali juga tidak ada. Tidak mandi sudah bukan masalah besar ketika itu, karena kami telah mulai terbiasa dari Kokas. Namun ketika hendak buang air besar, ini menjadi persoalan lagi untuk kami. Toilet yang warga bangun ada di atas pesisir pantai. Bahan bangunan toilet sendiri menggunakan kayu dengan tutup seadanya. Jadi sistemnya adalah “jamban cemplung”, yaitu toilet bolong di bawahnya dan langsung air laut tepat di bawahnya. Jadi ketika kita buang air besar, sama saja kita buang air besar di pantai, bedanya saya melakukannya di tempat semi tertutup. Tetapi angin dan deru suara air laut tetap sama karena jarak tingginya hanya sekitar 1,5 meter. Lalu kembali pada persoalan air, bagaimana cara membersihkan diri setelah buang air besar? Jawabannya adalah kita harus membawa air di baskom dari laut dan membersihkan diri dengan air laut tersebut. Jadi, dari laut kembalilah ke laut. Beberapa rekan memilih tidak banyak makan dan minum untuk mengurangi kemungkinan buang air selama di sana. Sedangkan bagi saya sendiri, saya sempat menikmati deru suara laut dan angin di atas toilet kayu tersebut. Jadi, inti persoalannya adalah, air itu bukan “sekadar”. Ketersediaan air itu ternyata menjadi hal yang istimewa.

Perjalanan yang berhubungan dengan air akhirnya saya temukan kembali ketika saya melakukan riset sosial di Lanny Jaya pada tahun 2016. Ini adalah daerah paling indah yang pernah saya datangi di Indonesia, namun bisa jadi ini subjektif. Tetapi, faktanya ke mana pun saya pergi saya selalu teringat dan ingin kembali ke sana suatu hari nanti. Setiap sudut daerah ini memiliki nilai dan keindahan tersendiri untuk saya, lekukan-lekukan gunung, udara yang sejuk dan segar, dan relasi antarmasyarakat yang sangat intim. Semoga berumur cukup dan diberikan rezeki untuk kembali ke sana. Sebaiknya gambaran mengenai lokasi ini dicukupkan karena berpotensi dijadikan tulisan tersendiri untuk hal yang satu ini. Kembali ke topik mengenai air, ini adalah salah satu lokasi yang paling lama saya singgahi selama melakukan riset sosial, sekitar hampir 2 bulan. Sesuai pengamatan saya ketika itu, di lokasi ini terdapat berbagai hal mengenai air. Pertama mengenai ketersediaan air di desa ini sendiri. Masyarakat biasanya membuat lubang galian di tanah, namun tidak diberikan pembatas antara air dan tanah. Jadi ketika hujan tiba (hujan sangat jarang terjadi, selama hampir 2 bulan di sana hujan paling banyak terjadi dalam 5–7 hari), lubang galian terisi air namun air berwarna keruh karena bercampur dengan tanah. Sumur, begitu warga menyebutnya, dipakai untuk setiap kegiatan warga yang berkaitan dengan air seperti mandi, mencuci pakaian, dan bahkan memasak. Karena hujan jarang terjadi, akhirnya warga di sana jarang untuk mandi dan, untuk buang air besar sendiri mereka tidak menggunakan air. Biasanya mereka membersihkan diri dengan daun atau batang kayu. Silakan diimajinasikan sendiri bagaimana caranya.

Kedua, dalam kurun waktu selama hampir dua bulan di sana, saya mencoba mengunjungi desa adat yang bernama Guninggame, di sana air semakin sulit. Mereka tidak terbiasa membuat lubang galian yang biasa mereka sebut dengan sumur. Akhirnya satu-satunya sumber air hanya aliran-aliran air yang turun dari gunung. Hal tersebut juga dirasakan kurang karena air sangat sedikit. Hal ini akhirnya berkaitan dengan kebiasaan mandi warga. Warga di sana mengaku mandi sekitar 2 minggu sekali atau bahkan tidak mandi-mandi sampai muncul rasa ingin mandi. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti cuaca yang dingin atau mungkin memang pola hidup yang tidak terbiasa dengan mandi. Saya mencoba tidak membahas ini lebih dalam karena bisa jadi berkaitan dengan sistem nilai dan kultur yang berbeda. Namun, kekurangan air sendiri sering kali dianggap juga sebagai masalah di tempat tersebut oleh warga. Saya sendiri sayangnya tidak cukup mendalami alasan sesungguhnya di balik pilihan warga soal jarangnya mandi dan makna air bagi mereka.

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa tiap lokasi di berbagai penjuru Indonesia tentunya memiliki budaya sendiri dan bagaimana mereka memaknai air sebagai penunjang kehidupan. Masih terlalu banyak hal yang tidak saya mengerti mengenai makna air bagi setiap warga di seluruh penjuru negara ini. Namun setidaknya dari apa yang saya rasakan sendiri, kebutuhan dan akses air bersih masih menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak. Setidaknya jika warga sedang membutuhkan, maka ada baiknya air bersih itu tersedia. Akhir kata saya kembali teringat sebuah iklan promosi produk air mineral kemasan mengenai air bersih beberapa tahun silam yang mengatakan, “Sumber air su dekat”. Setelah mengalami berbagai hal ini, saya akan menjawab, “Iya kah?”

Timoti Tirta

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!