Surat dari Seorang Tawanan

Setelah 37 tahun berlalu, usai referendum yang menentukan nasib kita, dan 20 tahun kemerdekaan negara kita, akhirnya aku baru berani menulis untukmu, Diana. Setelah aku merasa aman dan malamku tidak lagi dihantui mimpi-mimpi buruk. Kalau akhirnya surat ini sampai ke tanganmu, kita harus berterima kasih kepada seseorang (yang tidak bisa kusebut namanya) karena telah melewati pos perbatasan. Anak terakhir dari ia yang dulu bersamaku direnggut paksa. Yang diberangkatkan bersama dalam sebuah penerbangan. Karena dialah surat ini akhirnya sampai ke tanganmu. Ia sudah berjanji padaku bahwa ia tidak ingin mengecewakan aku.

Bukan bermaksud meninggalkanmu tanpa berita. Tapi kau sendiri juga tahu, gejolak yang memaksa kita harus berpisah ratusan mil. Setelah delegasi dari pemerintah Indonesia tidak menemukan kata sepakat pro integrasi dengan pihak kita yang anti-integrasi. Kalau lebih awal dilakukan referendum, tentu kita sudah bersama.

***

Malam itu, dari luar terdengar ketukan. Kupikir kamu yang datang, tapi ternyata tidak. Saat kubuka ada beberapa orang. Aku tidak tahu pasti, sekitar tujuh atau delapan orang, mungkin juga lebih, orang berseragam loreng muncul dari kegelapan malam tanpa suara. Sebagian wajah mereka tertutup kain hitam.

Seseorang menarikku dengan paksa, memberi isyarat agar tidak bersuara. Satu dari mereka menodong senjata ke arah jantung.

“Kami utusan dari Gereja. Teman-teman seumuran sedang menunggumu.” Salah seorang berbicara. Tegas. Sangat instruksionis.

Aku tidak bisa melawan, dan hanya sekadar meronta saja, dibentak. Mereka memaksa aku mengimbangi langkah mereka yang gegas di tengah malam yang pekat. Mereka tidak peduli apakah aku memakai alas kaki atau tidak.  Yang mereka inginkan adalah langkahku seimbang. Mereka juga tidak peduli pada kesedihanku, bahwa beberapa hari yang lalu keluargaku mati tertembak. Toh bukankah sekarang ada dalam gejolak perang? Kehilangan dan perpisahan menjadi sesuatu yang biasa, bukan?

Setelah menyusup jauh ke dalam hutan barulah aku sadar. Aku digelandang mereka, berselempang bedil, di bawah ancaman. Rupanya mereka adalah tentara, yang pada waktu itu sering kita bicarakan. Tentara yang mencari orang-orang pribumi kita untuk dilatih, lalu berperang melawan saudara kita sendiri.

Kamu tahu bagaimana aku. Mana mungkin aku mengangkat senjata, berperang melawan orang-orangku sendiri. Tapi, apa boleh buat, semua berada di bawah ancaman dan yang melawan langsung ditembak mati. Waktu itu aku pun memilih lebih baik mati daripada harus mengangkat senjata prointegrasi. Tapi, aku masih mengingatmu, ingin bersamamu. Itulah alasan kenapa akhirnya aku bergabung. Terpaksa sekali.

 Selama di kamp, aku selalu dihantui penyesalan, kenapa dulu tidak mau mengikuti ajakanmu bergabung dengan pengungsi lain ke pihak Gereja. Karena, seperti katamu, setidaknya lebih aman kita tinggal di gereja, berada di rumah pastor atau sekitar halaman gereja.

“Lebih aman kita berada di tenda darurat bersama pastor, Sayang,” ucapmu malam itu. Kau menggenggam tanganku. Ada gemetar yang menjalar.

Aku tidak menjawab kecuali hanya menatapmu dalam temaram lampu pelita. Di luar angin mendesir seperti membawa gelisah untuk kita. Di kejauhan terdengar bunyi tembakan. Terdengar rintihan yang mengambang dalam udara. Percakapan kita senyap, terisap dalam sunyi. Angin mengirimkan derit pohon dan terasa sungguh mencekam. Malam tersisa itu kita hanya saling berpelukan. Entah apa yang kaurasakan saat itu, dan aku merasa kita seperti berusaha saling meyakinkan bahwa maut tidak akan memisahkan kita.

Untunglah kita tidak bergabung ke sana. Beberapa bulan kemudian ada pembantaian di keuskupan oleh pihak anti-integrasi—pihak lain dari kita. Kudengar isu yang beredar Gereja tidak lagi aman, bahkan pastor juga hidup di bawah ancaman. Perayaan misa saja dijaga oleh para tentara. Pastor dilarang berkhotbah tentang gejolak yang terjadi kecuali berbicara tentang kasih. Saat itu aku tidak bisa membayangkan bagaimana berbicara kasih di tengah kecamuk perang. Apakah kita tidak mengokang senjata ketika berhadapan dengan orang yang telah mengokang senjata ke arah jantung? Lalu, apakah kita diam ketika senjata diarahkan tepat di dahi? Aku tidak bisa berbuat banyak, karena, kau bisa bayangkan sendiri, aku hidup dalam tekanan.

Kami berlatih tak lebih dari dua minggu dalam hutan. Intinya kami bisa mengokang senjata dan membidik dengan tepat. Tidak ada tempat bersembunyi atau meninggalkan kamp, karena di sekelilingnya dipasang kawat berduri. Ditambah tiap hari kami diteror ancaman. Barang siapa yang lari akan ditembak. Dan hal ini betul-betul terjadi pada beberapa kawanku. Sepertinya di setiap sudut hutan ada yang berjaga, mengawasi pergerakan. Kawan-kawanku yang lari, akhirnya pulang. Itu pun hanya kepala. Jika ada yang terdeteksi ingin lari, orang-orang tersebut digiring ke tiang gantungan, atau sebagian dimasukkan ke penjara darurat.

Tragisnya, aku bersama ratusan kawan yang anti-integrasi ditempatkan di barisan depan sebagai umpan peluru. Berperang melawan tentara dan rakyat yang tergabung kelompok Fretilin, yang kata pihak pro adalah haluan komunis. Memang aku juga tidak membenarkan tindakan mereka, melakukan pembantaian terhadap masyarakat sipil yang faksi integrasi dengan pihak pemerintah Indonesia. 60 ribu nyawa mati dibantai. Bukannya aku membenci sayap kiri, tapi bukankah kita juga berhak menentukan nasib sendiri? Terlepas dari haluan, bukankah kita juga ingin merayakan kemerdekaan dari para penjajah? Merasakan aroma kebebasan dan berdaulat menentukan arah sendiri.

Nyawaku ditentukan oleh nasib. Apakah umur 20 sangat penting di saat seperti itu, Dianaku. Maut terus mengintai dalam setiap pergerakanku. Tapi tidak mematikan ingatanku untuk terus memikirkanmu selama perang. Aku berdoa kepada Bunda Maria agar nyawa tidak melayang karena sebuah peluru menembus dadaku. Aku berdoa agar tidak ada peluru nyasar bersarang di kepalaku.

Pada sebuah subuh, kami melakukan penyerangan ke hutan dekat pegunungan. Tapi tidak ada orang di sana. Para Fretilin telah mengungsi ke daerah lain, dan yang kami temukan adalah ribuan mayat tergeletak begitu saja. Itulah orang kita yang dulu dijadikan tameng hidup oleh orang-orang Fretilin. Mereka mati karena penyakit dan kelaparan. Air mataku jatuh ketika itu, tapi cepat kuhapus karena kami dilarang menangis.

Suatu hari lain, ketika kami sedang istirahat di tengah hutan lebat dan cahaya matahari tidak berani tembus, datang segerombolan orang berpakaian hitam dan langsung memuntahkan peluru ke arah kami. Rentetan tembakan itu menembus bahuku. Jegos Gonsalves teman karibku gugur.

“Merdeka!” teriaknya sebelum mengembuskan napas terakhirnya.

“Merdeka,” aku membalas.

Darah segar keluar dari mulutnya. Saat itu kami sudah sama-sama tumbang, berhadapan. Aku masih sempat melihat dadanya berlubang yang mengucurkan darah segar.

Kawanku ini sama sepertiku. Ingin merdeka. Dalam diskusi yang terdiri dari beberapa orang ia selalu bersemangat. Ada banyak hal yang ia impikan jika kelak sudah merdeka. Ia ingin punya istri orang Portugis. Dalam matanya selalu ada bara yang menyala, tapi kau bisa bayangkan, kami semua hidup di tengah ancaman. Ia telah pergi selamanya sebelum keinginan itu terwujud.

Walau perih yang amat menikam bahu, dengan cepat kulumuri mukaku dengan darah segar kawanku. Itulah satu-satu cara yang bisa menyelamatkanku saat itu. Setelah semua kami tumbang, pasukan tadi memeriksa, memastikan apakah kami masih bernyawa atau telah menjadi seonggok tubuh tanpa nyawa. Pemeriksaan itu saat yang paling mendebarkan. Mati atau hidup. Jika kedapatan masih bernapas, mereka akan membekap mulut untuk menghemat peluru.

Mukjizat itu memang ada. Dua mayat di sampingku sudah diperiksa oleh seseorang. Sisa satu, kawanku Jegos, lalu aku, tiba-tiba terdengar deru kendaraan. Orang-orang bertopeng bergegas meninggalkan kami yang terkapar. Aku selamat, tapi kawanku tidak. Ia gugur oleh tembakan orang yang masih satu moyang dengan kita.

Setelah kejadian itu, beberapa di antara kami yang pernah tertembak tapi tidak mati diterbangkan ke Pulau Jawa. Sungguh, di dalam pesawat itulah aku menangis. Aku tahu bahwa jarak di antara kita semakin terbentang luas. Terpisah dari kerabat. Yang paling menyakitkan adalah kami yakin bahwa tidak mungkin akan dipulangkan ke tanah tempat kantong ari-ari kita dikuburkan. Kami sudah bertolak dan itu artinya selamat tinggal tanah tercinta.

Di sana, di tempat baru, kami mendapat fasilitas yang menjanjikan. Disiapkan rumah dan segala sesuatu yang memungkinkan kami betah dan merasa seperti tanah sendiri. Ada yang kemudian membuka lahan menanam kelapa sawit, cokelat, dan membuka sawah. Tapi ada juga sebagian dari kami yang ditelantarkan. Kau bisa bayangkan, bagaimana remuknya kami. Dipisahkan dari keluarga secara pemaksaan dengan alasan sebagai jarahan kemudian ditelantarkan.

Tapi untuk apa kita pikirkan lagi.  Bukankah itu sudah terjadi puluhan tahun lalu, Diana. Kalau kita terus memikirkan perih, lalu kapan kita bisa bahagia? Bukankah dulu kau sering berkata demikian, memikirkan kisah cinta kita di tengah gejolak perang. Memikirkan aku yang begitu bersemangat membela aspirasi kita.

Kini aku berharap penuh pada kerja keras kelompok HAM Indonesia, AJAR, Kementerian Luar Negeri RI, serta pemerintah kita, komisi pencari kebenaran Timor Leste, CAVR, untuk mencari anak-anak yang ‘hilang’. Anak yang direnggut paksa waktu itu. Karena bukankah sekarang kita sudah berdaulat masing-masing? Kalau memang kami dulu diambil dengan alasan untuk menghukum, melemahkan, dan mempermalukan musuh penentang pemerintah Indonesia, saatnya dikembalikan karena kita sudah merdeka. Merdeka, Sayang. Kalau pun tidak diizinkan karena aku telah menjadi warga negara lain, bukankah kita masih bisa bersua untuk membagi cerita. Menghitung anggota keluarga kita yang masih utuh. Kita tidak bisa menahan gejolak yang ada dalam hati karena ia selalu memanggil pulang. Bagaimana juga tanah asal adalah leluhur yang harus kita junjung.

Negara kita memang tidak besar, bukan? Kehilangan salah satu anggota keluarga mungkin menjadi hal biasa selama perang. Mungkin, kau juga sudah bertemu anggota keluargamu, dan menganggap kematian sebagai sesuatu yang wajar dalam perang. Tapi akan sangat tidak biasa jika seorang anak yang sudah dinyatakan hilang tiba-tiba kembali datang dengan wajah membiaskan kerinduan. Apalagi selama ini, mungkin anggota keluargaku sudah menulis namaku pada palang salib yang ditancapkan pada gundukan tanah kubur, padahal aku masih bernapas.

Diana,

Semoga hatimu tergerak, bersama pemerintah untuk mencari orang-orang yang telah diambil paksa itu. Banyak yang ingin pulang membaui aroma tanah basah. Tanah Timor. Memang juga ada sebagian yang tidak ingin kembali dengan alasan kenangan pahit. Sudah bahagia di tanah baru. Tapi sebetulnya juga masih banyak yang ingin pulang sekadar berbagi kisah bersama anggota keluarga.

Dianaku, Diana yang sudah merasakan kebebasan.

Surat ini bukan bermaksud membangkitkan kembali perih yang sudah kita kubur dalam ingatan. Tapi, aku hanya mengingatkan bahwa kita punya satu moyang. Yang dalam hatiku selalu merasa terpanggil untuk pulang, ya, setidaknya berkumpul barang sejenak bersama keluarga. Merasakan aroma tanah Timor. Mengobati kerinduan dan saling mengabarkan bahwa kita sudah sama-sama bahagia. Bahwa kita masih hidup setelah digiring paksa.

Untuk menghilangkan identitasku oleh pemerintah, aku dipaksa memeluk agama lain. Bukan agama kita lagi. Bukankah kita tetap punya Tuhan yang sama? Aku percaya, kita pasti bertemu lagi, berdoa bersama tapi dengan tata cara yang berbeda. Itu tidak akan menjadi soal untuk kita.

            Diana, malam sudah larut. Tubuhku tidak terlalu kuat lagi menahan angin malam setelah ditembusi peluru waktu itu. Sampai jumpa.

            Dari orang yang rindu akan kepulangan, Kekasihmu.

*Kepada K. yang telah membagikan kisah.

Jemmy Piran
Latest posts by Jemmy Piran (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!