Surat: Dari Siapa, Bukan untuk Siapa!

Salah satu topik pelajaran yang barangkali sudah tak berguna dalam pelajaran bahasa Indonesia adalah menulis surat, terutama surat pribadi. Saat ini, banyak siswa merasa bahwa menulis surat sudah tak penting lagi. Untuk apa letih menulis surat kalau bisa menyampaikannya secara langsung, begitu siswa sudah beralasan. Untuk apa pula menulis surat kalau ada gadget (bisa mengantarkan pesan secara tulis, lisan, bahkan video), alasan kemudahan teknis juga ditambahkan. Semua alasan itu tentu menjadi penguatan bahwa belajar menulis surat, terutama surat pribadi, tak berfaedah lagi.

Padahal, jika melacak sejarah, adanya surat menjadi bentuk keistimewaan manusia. Keistimewaan pasti selalu dikejar. Maka, untuk menegaskan keistimewaan itu, kita membagi dua garis besar sejarah dari segi keberaksaraan (surat): sejarah dan prasejarah. Prasejarah adalah masa sebelum tulisan, sementara sejarah adalah setelah mengenal tulisan. Surat itu juga adalah politik. Hegemoni dan upaya monopoli pasti berkelindan di sana. Karena itu, tak mengherankan jika dalam bentangan sejarah, kecemburuan, bahkan peperangan, selalu tersaji tersebab surat.

Sejak ditemukannya papyrus di Mesir pada tahun 3000 SM, “peperangan” sudah dimulai. Papyrus bersifat endemik: hanya tumbuh di sekitaran Sungai Nil. Katanya begitu. Mesir lantas semakin merasa istimewa. Dan, semua mengejar keistimewaan itu. Dampaknya, papyrus berpindah menjadi objek pasar. Papyrus benar-benar laris. Mesir memonopolinya. Namun, ada saatnya papyrus tidak lagi diperjualbelikan. Ini bermula dari hal yang menyangkut harga diri: keistimewaan. Konon, terjadi perseteruan antara Ptolemy V dari Mesir dan Raja Eumenes dari Pergamon.

Basi

Ptolemy risau karena Eumenes menumpuk keistimewaan dengan menambah koleksi perpustakaannya. Ptolemy tak mau perpustakaannya kalah saing, tentu saja. Karenanya, papyrus pun tak dijual lagi. Keistimewaan tak bisa dibagi-bagi, kurang lebih begitu mazhabnya. Zaman beranjak. Pelan-pelan, papyrus mulai ditinggalkan seiring ditemukannya kertas oleh Tsai Lun di Cina. Seperti papyrus, kertas kembali dimonopoli. Cara pembuatannya dirahasiakan. Hingga pada akhirnya, ketika Dinasti Tang kalah dalam perang Arab-Cina (751), kertas mulai ramai.

Itu bermula ketika Arab menawan beberapa prajurit Cina. Keselamatan tawanan dijamin apabila tawanan membuka rahasia bagaimana membuat kertas. Sejak saat itu, kertas menjadi lambang pengetahuan dan keistimewaan. Masyarakat ramai-ramai haus pengetahuan. Jargon “tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina” menjadi serupa perintah religius. Dampaknya, dunia Islam maju dengan sangat pesat. Eropa takluk. Berbagai pemikir besar, mulai dari matematikawan, astronomi, hingga filsuf, lahir dari rahim teknologi kertas.

Kini, era kertas sudah mulai ditinggalkan, malah hampir ditanggalkan. Kertas bukan lagi simbol utama pengetahuan. Jika dulu simbol kemajuan dilihat dari seberapa banyak warga yang mengasyiki buku, kini sudah cenderung dilihat dari seberapa mewah gadget di tangan. Otomatis, berbicara tentang buku sudah basi. Kertas pun tersingkir. Koran-koran besar kehilangan panggung. Informasi sedemikian cepat timbul, sedemikian cepat pula basi. Dampaknya, seperti kata John Connolly, begitu koran dijual di kios-kios, berita dalam koran itu sudah basi, bahkan sudah mati pada saat dibaca.

Kertas tergilas oleh fitur-fitur digital. Fungsi surat pun digantikan pesan-pesan singkat di gadget. Turunannya, pelajaran menulis surat menjadi membosankan. Semakin membosankan karena pelajaran ini tak ada aplikasinya, kecuali untuk merebut nilai di ijazah. Dampaknya, siswa tak lagi terlatih untuk memproduksi sebuah tulisan yang benar-benar mempribadi. Semua hasil karya dominan adalah jiplakan. Siswa juga tak lagi sadar untuk menuliskan kemauannya. Siswa lebih-lebih tak sadar bagaimana bertanggung jawab setelah meminta, yaitu memberi.

Periksalah salah satu surat pribadi ini! Surat ini terangkum pada buku Surat Buat Ibu (2018) karya anak SMPN 2 Colomadu. Jujur saja, aku tak mampu tak dapat uang saku darimu. Jangan hukum diriku, karena aku sayang padamu. Mi, ingat engga, kalau kamu itu selalu janji, janji, janji pada diriku untuk beli Samsung yang 4G LTE? Mi, aku boleh minta sesuatu engga? Aku minta uang sakunya dilebihin, Mi! Aku sayang kamu. Just you in my heart.”

Surat pribadi di atas benar-benar pelit kata-kata, tetapi banyak permintaan. Surat ini pun, setelah diperiksa lagi, bukan lagi benar-benar surat. Surat ini hanya ibarat sekumpulan puisi yang kebetulan dibukukan. Surat ini tak pernah benar-benar sampai pada tujuan. Surat ini tidak dikirimkan lewat pos. Pos sudah diketepikan. Padahal, dulu, seseorang begitu sangat bergetar ketika mendengarkan suara “kring-kring-kring”. Suara itu menandakan kedatangan pesan penting dari seseorang yang nun jauh dan nun dirindukan.

Kini, suara “kring-kring-kring” sudah bersalin makna. Suara ini sudah menjadi milik para penjual keliling. Ketika suara ini terdengar, anak-anak harap-harap cemas untuk jajan. Sebaliknya, ketika suara ini datang, orangtua mulai waswas. Uang belanja bisa melangit, belum lagi fakta bahwa jajanan liar acap tak sehat. Di sini, selain menjadi ketakutan, suara itu menjadi pesan itu sendiri. Kita tak perlu lagi membuka amplop untuk mengetahui pesan. Pesan tak perlu lagi tersurat. Pesan bahkan tak perlu lagi diantar.

Bukan Apa-Apa

Pesan hanya butuh didengarkan dari balik gadget. Surat tak pernah lagi benar-benar menjadi pesan. Surat sudah tak membumi. Surat menjadi pajangan semata. Surat menjadi kenangan. Tak ada lagi rahasia di sana. Maka, lihatlah, kumpulan surat-menyurat seorang tokoh ke tokoh lain yang semestinya menjadi konsumsi pribadi sudah banyak dibukukan. Kini, surat itu menjadi konsumsi khalayak. Surat itu menjadi untuk siapa saja yang membaca. Kita tentu acap melihat tulisan dari seorang tokoh ke tokoh lain yang dipublikasikan ke media.

Amien Rais terhitung beberapa kali melakukannya kepada Jokowi. Surat itu memang berjudul surat terbuka untuk Jokowi. Tetapi, apakah Jokowi benar-benar menjadi penerima tunggal surat itu? Apakah Jokowi benar-benar menjadi pembacanya? Di sinilah surat menjadi sangat liar. Semua membaca surat Amien Rais kepada Jokowi seakan-akan semuanya adalah Jokowi. Di sini, surat ditujukan bukan lagi kepada siapa-siapa. Surat menjadi manasuka. Siapa membaca, kepadanyalah surat itu diperuntukkan.

Seperti kumpulan Surat Buat Ibu di atas. Surat ini bukan lagi kepada ibu. Siapa pun menjadi pemilik surat itu. Apakah ia seorang bapak, seorang ibu, seorang nenek, seorang anak. Semua menjadi ibu seakan-akan semua tidak lagi bisa menjadi bapak atau anak. Karena semua, kedekatan tak perlu lagi diutamakan. Kehati-hatian tak perlu lagi dipikirkan. Surat menjadi seadanya. Bisa diambil dari fitur digital dengan mudah: tinggal tekan Ctrl+C lalu Ctrl+V, surat sudah beres. Surat itu tak perlu dibaca atau dikirim.

Surat itu hanya perlu dibukukan jika bernasib baik. atau, selekas dapat nilai, surat itu bisa dibuang tanpa ada yang membaca. Surat menjadi nirmakna. Surat bukan lagi pesan. Surat bahkan bukan lagi lambang pengetahuan. Karena itulah mengapa tak ada upaya “monopoli” dari pemerintah untuk merawat dan mengembangkan pokok pelajaran menulis surat di sekolah. Toh,surat bukan lagi kepada siapa dan dari siapa, bahkan bukan apa-apa. Surat hanya kumpulan huruf dan permintaan yang tak pernah disampaikan, apalagi diajarkan! Tetapi, kok masih saja ada pelajaran menulis surat, ya? Hehehehe.

Riduan Situmorang
Latest posts by Riduan Situmorang (see all)

Comments

  1. SANTRI Reply

    Surat menyurat masih berlaku di pesantren saya mondok. Tepatnya di Sarang, di pesantren yang dirintis Syaikhina Maimoen Zubair rahimahullah. Bahkan sampai sekarang surat menyurat dianggap hal pokok di sana.

    Kalau ada perkumpulan, baik itu musyawarah, rapat, atau hanya ngopi bareng seangkatan, katanya kalau gak ada surat gak begitu afdlal.
    Surat itu pun masih dianggap bahan prank kalau suratnya tidak ada tanda tangan resmi juga tidak ada stempel resmi. Begitulah. . . Lain daerah lain kisah.

    • Admin Reply

      wah menarik 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!