Assalamualaikum, Beijing Lebaran? Apa kabar? Saya sudah kangen lho sama kamu. Sudah lama ya kita nggak ketemu? Emm, biar terkesan lebih (sok) akrab, bagaimana jika saya panggil kamu “Leb”? Terdengar aneh sih, wagu juga, seperti saya, tapi ndak papalah ya. Buat saya, apa sih yang enggak? Huwek.
Leb, saya tahu kamu tengah sibuk menjadi media Tuhan untuk berbagi kebahagiaan. Tapi, sudilah sebentaaaar aja kamu membaca surat ini. Ada banyak hal yang ingin saya sampaikan padamu. Eits…, sebentar, jangan buru-buru deg-degan begitu to, kayak kebiasaan saya yang jomblo aja bila merasa dapat seberkas cahaya lanangan, ini bukan surat cinta kok. Ini hanya secuil uneg-uneg tidak penting yang sebaiknya kamu tahu aja.
Baiklah, mari kita mulai dari hal-hal yang paling deket sama keseharianmu. Kalau di negeri saya sih, yang paling deket sama kamu, ya, ritual mudik. Tau, kan? Ngomong-ngomong masalah mudik, saya mau ngucapin makasih dulu deh sama kamu. Iya, makasih. Makasih karena gara-gara kamu, para petinggi di negeri saya mau menyedekahkan uang (negara) untuk memuluskan aspal-aspal yang tiap tahun selalu merengek minta dipoles. Bingung, ya, tiba-tiba ngomongin aspal? Maklumin, ya, jomblo emang begitu, suka aspal.
Gini, Leb, jadi, berdasarkan riset saya, dari tahun ke tahun, negeri saya ini demeen banget moles jalan pas kalau kamu mau dateng aja. Iya, setahun sekali doang. Seringnya gitu. Kadang saya miris, Leb, soalnya di beberapa tempat, aspalnya kadang cuma ditambal sulam aja. Jadi kasihan deh sama pengguna jalan, para pemudik juga, yang terpaksa ajeb-ajeb di jalanan sana.
Saya nggak bisa membayangkan apa jadinya negeri ini tanpa kehadiranmu, Leb. Walau cuma setahun sekali, itu sudah banyak memberi kontribusi bagi negeri saya. Tapi, ya, kalau boleh usul, mending kamu menetap di hatiku negeriku aja deh, Leb. Dengan begitu kan jalan-jalan di sini bakal selalu mulus, kemacetan bisa terurai lewat pembangunan jalan-jalan tol baru. Armada angkutan darat, laut, dan udara bakal tiap hari dicek kelayakannya, diperbaiki infrastrukturnya, nggak perlu nunggu setahun, nggak perlu nungguin kamu, nggak perlu nungguin ada yang celaka dulu baru pada sibuk sidak-sidak kayak badak.
Emm, sekarang ingin mengajakmu bicara humanisme, Leb. Weh, tenang, ini takkan serumit yang kau bayangkan, kok.
Jadi, Leb, beberapa waktu lalu saya lewat di sebuah tempat peribadatan non-Islam di dekat rumah. Ada sebuah spanduk yang dibentangkan lebar-lebar dengan tulisan besar-besar:
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1436 H. GKJ XXX.
Saya langsung tersenyum, bangga, sekaligus haru. Betapa indah ya, Leb, perbedaan itu jika diiringi toleransi. Saya jadi malu sendiri, hal serupa kok ya jarang saya temukan di penghujung tahun, ya? Mudeng kan maksudnya? (kedip-kedip mata).
Saya jadi mengidamkan kondisi begituan bisa merata di seluruh dunia. Jika sudah begitu, kasus Rohingya kan nggak perlu terjadi, tuh. Rudal tempur Israel pun nggak perlu repot-repot mendarat di bumi Palestina, kan? Ah, indahnya selingkuh dunia andai semua saling mengerti. Semoga itu akan kian mewujud ya, Leb, nggak sebatas andaian belaka. Aamiin.
Sebelum diakhiri, saya ingin nitip pesen dong buat seluruh umat yang merayakan kedatanganmu. Sampaikan kepada mereka kalau saya khawatir. Khawatir jika kehadiranmu yang setahun sekali ini hanya dimaknai sebagai momen sirkuler belaka. Sebuah momen yang akan berputar begitu-begitu saja, seperti tahun-tahun sebelumnya, tanpa ada iktikad untuk memperbaiki dan meningkatkan diri.
“Kembali fitri” yang digembor-gemborkan dalam SMS copas-an Lebaran hanya bertahan saat euforia-mu masih hangat menyesap. Setelah kamu pergi, “kembali fitri” yang didengung-dengungkan itu “kembali dikotori” dengan ritual kesibukan duniawi.
Tolong ya, Leb, sekali lagi sampaikan pada mereka. Kedatanganmu jangan hanya dijadiin momen move on, tapi juga move up. Jika tahun ini sedekahnya baru bisa satu unit Jazz, ya tahun depan minimal bisa sedekah lima unit Marcedes, kan gitu? Pokoke ada kacek-nya, lah. Gitu ya, Leb?
Udah ya, Leb. Eh, satu lagi, ding. Tolong sampaikan pula kepada sanak dan sahabat yang jarang jumpa itu, mbok ya stop gitu nanya-nanya apalah yang bikin saya lebih dina dibanding bebek di kandang simbah. Kayak: kapan lulus?; kok senang betul sendirian aja?; mana pasangannya?; kapan nikah?; nggak kasihan sama emakmu po yang udah ubanan banget itu, yang kebelet nimang cucu?
Soalnya nganu lho, Leb, soal-soal begituan kedengaran pongah banget disayatkan mereka yang udah melampauinya; sementara saya beserta jamaah jomblo menjadi seketika teringat kembali malam-malam kami yang sepi dan hanya kuasa mengelus air basah di balik jendela kos-kosan yang diam saja dari tahunan dulu sembari berharap ada satuuuu aja makhluk di luar sana yang beda jenis dengan kami yang berkenan menyentuhkan tangannya ke jemari kami yang dingin.
Kamu tahu kan, Leb, kami bukannya ndak usaha keras, lho. Hanya saja, kami masih malang.
Wassalam.
Sumber gambar: greenprophet.com
- Surat untuk Lebaran - 16 July 2015
- Gerakan Penyelamatan Dedek-Dedek Gemes Kita - 11 June 2015