Bidan itu menggeleng berkali-kali melihat perut buncit Harti. Pasalnya baru pertama kali ia memeriksa perut seaneh itu. Besar menggelembung agak menyamping, jika ditepuk terasa seperti menepuk batu. Bidan itu menatap tajam pada saya. Tatapan yang menghakimi.
Ia sepertinya mengira saya adalah suami pasiennya. Padahal saya tidak tahu pasti siapa yang membikin perut itu membesar. Subuh tadi perempuan itu nyelonong ke kamar saya, menggedor-gedor pintu dan berteriak.
“Apa maumu?” saya marah. Terbangun dengan kepala bergoyang dan sungguh tak enak.
Bau mulut busuk perempuan langsung terisap.
“Antar aku ke bidan. Aku ingin memastikan bayiku bisa lahir.”
“He, suruh saja orang lain. Kenapa harus aku?”
“Tak ada orang lain yang mau.”
Saya diam. Perempuan itu duduk di ujung kasur, tersenyum-senyum mengelus perutnya. Dari sorot matanya yang cerah, saya pikir ia membayangkan sedang menimang bayi. Ia tak akan pergi sebelum keinginan itu terpenuhi. Akhirnya saya terpaksa mengantarnya, sebelum orang bisa melihat kami berboncengan ketika langit sudah terang.
Harti hampir diusir dari kampung kami. Perutnya yang membuncit itu lama-lama diketahui warga. Kami mengira Harti hamil secara tak wajar. Bukan suatu rahasia jika ia gagal menikah berulang kali. Lelaki-lelaki yang mencarinya hanya datang untuk bisa memuaskan kemaluan mereka yang tak tertahankan. Mereka tak peduli bahwa perempuan itu jorok bukan main. Badannya super bau. Saking baunya, bisa tercium ketika berpapasan. Belum lagi giginya yang menguning, bibir dower seperti sapi, hidung yang nyaris rata dengan wajah, kulit penuh kurap, kaki penuh koreng. Mereka tak keberatan dengan hal itu asalkan Harti membayar mereka. Harti membayar lelaki mana pun untuk mau menyetubuhinya. Tak tentu berapa ongkosnya, tapi setiap malam ada saja yang datang.
Tempat tinggalnya tak kalah jorok. Debu-debu menempel di lantai, dinding, dan kaca-kaca jendela. Sampah-sampah terserak di luar maupun dalam rumah. Rumah itu menyempil di antara rumah saya dan toilet umum yang terbengkalai. Dindingnya menyatu dengan dinding rumah saya, hingga desahan dan suara mereka bisa terdengar.
Saya menunggu bidan itu selesai memeriksa. Saat itu saya baru merasa, menolong Harti seperti menyulut api pada dedaunan kering. Apa jadinya kalau tak ada yang mengaku telah menghamilinya? Sejak kehamilan itu menjadi buah bibir para warga, tak ada yang datang lagi ke rumahnya, tak terdengar lagi desahan-desahan itu. Bahkan semua lelaki di kampung membisu saat Harti disidang. Tak ada yang mengira Harti akan mempermalukan lelaki-lelaki kampung di depan warga, di depan istri mereka. Ia melepas semua bajunya dan menantang mereka. Saya tahu kemaluan mereka mengacung melihat susu Harti yang terkulai lemas serta rambut lebat di selangkangannya. Tapi tak ada yang menerima tantangan itu.
“Ayo! Lakukan seperti biasa kalian lakukan. Kenapa diam saja? Mana yang katanya bosan dengan istri-istri yang cantik dan wangi itu. Mana yang katanya ingin menikmati perempuan jelek dan bau sepertiku? Apa kalian tidak ingat telah orgasme berkali-kali dalam vaginaku? Ayo lakukan beramai-ramai seperti imajinasi kalian. Kenapa masih diam? Babi kalian semua!”
Lelaki sekampung berbisik-bisik. Harti tak jadi diusir dengan alasan tak ada yang akan menampungnya. Kedua orang tuanya telah bercerai, hidup dengan keluarga baru, dan tak jelas keberadaannya. Tapi saya merasa ada alasan lain di balik itu.
Ibu Bidan menyalakan alat USG dan menempelkan sebuah benda berkabel ke perut Harti. Saya tak bisa melihat jelas gambar di layar, tapi gerak-gerik bidan itu mencurigakan. Ia berkali-kali memindah benda berkabel itu menyusuri perut Harti. Dan setiap kali benda itu ditempelkan, kepalanya akan mendekat ke layar dengan mata memicing. Sesaat kemudian mulutnya menganga tak percaya.
Selesai pemeriksaan, Ibu Bidan menghampiri saya di meja ruang tunggu, Harti menyusul dari belakang, lalu duduk sebelah saya. Bidan itu mengawasi kami bergantian.
“Ibu Harti, dalam perut Anda itu bukan janin.”
“Tidak mungkin! Aku telah bersetubuh dengan banyak orang. Jangan sembarangan kau ngomong.”
Keduanya sama-sama ngotot dan perdebatan terjadi. Harti menceritakan dengan bangga kepada Ibu Bidan bagaimana para lelaki mau menyetubuhinya. Ia sudah lama membayangkan bisa bersetubuh dengan lelaki. Tapi selama ini semua itu baru bayangan, yang memantik rasa iri pada perempuan-perempuan cantik yang bisa bersetubuh dengan lelaki. Pada suatu kesempatan ia suka sekali menonton bokep. Tapi itu belum membuatnya puas. Tubuhnya gatal ingin digerayangi tangan lelaki. Ia pergi ke tempat mucikari tapi ditolak. Ia membuka situs pelacuran online tapi tak ada yang mau. Akhirnya ia yang membayar para lelaki. Ibu Bidan menutup mulutnya lalu mengelus dada.
“Sekarang kau tahu, Bu Bidan, kenapa aku yakin dalam perutku adalah janin.”
Bidan itu lalu mengambil amplop cokelat besar, dan mengeluarkan mika hitam transparan. Matanya mengamati mika tersebut, lalu melempar tatapan pada kami berdua.
“Sebentar, kalau memang hamil, apa keluhan Anda sebelum ke sini, Ibu Harti?”
“Ingin berak dan kentut tapi tak bisa keluar.”
Harti mengaku sudah sekitar dua minggu tai-tai itu tidak bisa dikeluarkan. Sekuat apa pun ia mendorong tai itu tetap bertahan dalam perutnya. Tapi anehnya, ia bisa merasa lapar, bahkan tak mengganggu porsi makannya. Lantas ia pernah ke dokter umum dan diberi obat pencahar. Ia meminum obat itu, tapi percuma, waktu di toilet tak ada kotoran yang nyemplung ke lubang kloset. Perutnya justru terasa diobok-obok dari dalam. Ia berhenti mengonsumsi obat-obatan setelah merasa hamil.
Saya dan Ibu Bidan sama-sama melongo mendengar cerita Harti. Ia kemudian kembali mengamati mika hitam itu. Saya perhatikan gelagatnya seperti ingin muntah.
“Kok bisa sampai begitu? Anda makan apa sebelumnya?”
Harti terlihat memikirkan sesuatu. Ia agak gelisah, tak seperti biasanya. Tangan yang tadi meremas paha kini mencengkeram celana.
“Makan makanan biasa.”
“Tidak mungkin. Saya tidak bisa menerima jawaban itu. Coba Ibu lihat,” ia menerangkan gambar di mika hitam, hasil dari USG. Saya juga melihat gambar itu. Dan gambar itu menampakkan rahim yang kosong.
“Sudah sangat jelas ini bukan masalah rahim tapi lambung, dan itu berhubungan dengan makanan, Ibu Harti.”
Harti menunduk setelah melihat gambar itu. Rahim yang kosong. Impiannya untuk hamil dan melahirkan anak hancur. Tak lama punggungnya bergetar dan napasnya tersendat-sendat. Saya pegangi dua pundaknya. Setelah agak tenang, kepalanya mendongak.
“Aku menelan sampah dua minggu lalu, Ibu Bidan.”
Ibu Bidan menjatuhkan punggungnya ke senderan kursi.
“Bagaimana bisa menelan sam … sampah?”
“Kata orang-orang itu najis bersetubuh dengan perempuan buruk rupa sepertiku. Padahal pemuka agama juga main denganku. Tapi mereka tak mau tahu lalu menyiksaku. Mereka memasukkan sampah ke mulutku.”
“Siapa orang-orang itu?”
Harti menatap tajam pada saya. Matanya masih basah. Dadanya naik-turun. Cengkeraman di celana itu semakin kuat.
“Pemuda-pemuda kompleks dekat kampung kami.”
“Sebentar, Ibu Harti, mustahil orang bisa memakan sampah. Sampah apa itu?”
“Pokoknya sampah. Bermacam-macam sampah.”
“Tapi Ibu Harti yakin kalau itu benar-benar sampah?”
“Aku sudah pastikan itu sampah.”
“Coba jelaskan seperti apa bentuknya, baunya, atau rasanya.”
“Sampah ya sampah, Bu. Tahu sampah, kan?”
“Saya tanya sekali lagi. Ibu Harti yakin itu benar-benar sampah, bukan yang lain?”
Saya perhatikan Ibu Bidan, sepertinya ia menaruh curiga.
Harti tak menjawab. Dari wajahnya saya mengira ia menyembunyikan sesuatu. Dan lagi-lagi menatap saya, seakan-akan mempertanyakan kebenaran soal sampah itu. Saya tak menanggapi tatapannya yang menuntut. Barangkali pemuda-pemuda itu begitu kasar menyiksanya, sehingga ia hilang kesadaran dan mengira yang ia telan sampah betulan. Saya tak akan menanggapi dan semakin terseret dalam masalahnya.
Saya justru tercengang mendengar pelakunya. Bajingan orang kompleks itu! Hati saya jadi panas. Kepala saya seperti dipukul dengan balok keras-keras. Kampung kami sering bertengkar dengan mereka. Pemicunya juga soal sampah. Lebih tepatnya tempat pembuangan sementara milik kompleks yang bertahun-tahun mencemari udara dan air di kampung kami. Kampung yang berada dalam sebuah gang, di belakang kompleks itu. Jarak kampung dengan kompleks perumahan cukup jauh, terpisah oleh berpetak-petak sawah. Gang itulah satu-satunya akses keluar-masuk kampung kami. Dan tempat pembuangan kompleks berada dua petak sawah depan gapura masuk. Jika musim hujan, sampah-sampah bersama air-air yang menggenang terbawa mengalir ke got-got kampung. Tak jarang masuk kolam ikan, sumur, dan diare meneror kami. Warga bersama Lurah berupaya agar tempat pembuangan sampah itu dipindah, tapi pengurus kompleks perumahan hanya menanggapi dengan janji-janji. Puncaknya warga sepakat untuk ikut membuang sampah diam-diam di tempat itu.
Kuping saya panas mendengar orang kampung diperlakukan seperti itu. Tapi di hadapan bidan itu saya menahan hati yang sudah mendidih. Akhirnya saya keluar dari ruangan dan menyulut rokok. Saya tak mau mendengar kelanjutan cerita dari Harti.
Beberapa saat kemudian perempuan itu keluar. Tangannya memegangi perut, mengelusnya, seolah memang hamil. Orang-orang yang mengantri mengamati setiap langkahnya menuju saya.
“Bagaimana? Bisa diobati?”
“Antar aku kepada Sarno, si jagal sapi itu. Akan aku potong perut ini,” ucapnya ketus.
Sarno si jagal sapi adalah mantan warga kampung kami yang otaknya cukup encer dibanding pemuda lain. Ia mendapat beasiswa kuliah kedokteran dan menjadi dokter bedah setelah lulus. Kabarnya pernah bekerja di sebuah rumah sakit swasta, tapi kemudian berhenti karena tabiat busuknya terendus. Siapa sangka organ-organ dalam pasien ia jual. Sejak itu ia tak pernah kembali ke kampung kami. Sarno tetap melakukan praktik dokter bedah dengan kedok tempat pemotongan hewan. Kami disambut dengan hangat di tempat itu. Lalu ia memamerkan kesuksesan tempat pemotongan itu dan juga perlengkapan dokter bedah yang dibeli dari hasil menjual organ dalam manusia.
Respons Sarno tak jauh berbeda dengan Ibu Bidan. Ia mengira ada janin sedang meringkuk dalam perut Harti. Tapi ketika mendengar cerita perempuan itu dan melihat sendiri hasil USG, jagal itu baru percaya. Lalu ia membawa Harti ke sebuah ruangan tertutup. Saya tak dibolehkan masuk.
Saya menyulut rokok dan mengamati tempat yang mengerikan. Ruang praktik itu berada di belakang tempat pemotongan. Dipisahkan dinding berpintu kaca. Dari pintu itu saya melihat gantungan usus yang meliuk-liuk, bongkahan merah gelap seperti hati, jantung, dan belahan kulit berserabut seperti handuk. Saya menelan ludah berkali-kali. Bayangan perut Harti yang buncit itu dibelah dengan pisau kelet, kemudian lambungnya diambil, dibelah, dan kototran yang mendekam berhari-hari itu membludak dari sayatan pisau. Kemudian ususnya akan dipotong, dibersihkan, dan digantung bersama usus-usus sapi atau kambing. Dan usus-usus itu akan sampai pada pembeli, dimasak menjadi sop, lalu dicerna lambung. Bau amis sampai ke mana-mana dan membuat mual. Saya sudah memuntahkan isi perut apabila tidak ada suara pintu terbanting. Sarno keluar dari ruangan sambil membungkus pisau kelet. Harti keluar setelahnya.
“Bagaimana hasilnya?”
“Kita tunggu hasil rontgen.”
Tak berapa lama Sarno mengambil mika hitam dan menelitinya.
“Kau menelan benda aneh, Harti. Dan ada yang menyumbat jalan keluar sisa makanan di perutmu. Bagaimana ini semua bisa terjadi?”
Harti mencengkeram celananya, erat sekali, seakan-akan ia ingin merobek-robeknya. Kemudian ia menatap tajam saya. Dadanya naik-turun. Sebelum menjawab tangan kirinya pindah memegang paha saya.
“Kejadiannya begitu cepat. Malam itu aku membuang sampah di tempat pembuangan milik kompleks perumahan. Di dekat tempat itu ada tiga pemuda sedang mabuk. Malam itu berahiku sedang memuncak. Lalu aku menggoda mereka, seperti menggoda lelaki-lelaki di kampung. Dan aku tak menyangka akan diperkosa ramai-ramai. Setelah kemaluan mereka puas, seenak jidat mereka menghina tampangku yang jelek. Aku jadi kesal, dan bilang kalau kemaluan mereka seperti kemaluan anak-anak SMP. Mereka marah lalu menyeretku ke tumpukan sampah. Aku sempat melawan, tapi tak ada gunanya saat berhadapan dengan tiga pemuda. Satu dari mereka membuka mulutku lebar-lebar. Dua yang lain memasukkan sampah-sampah lalu mendorongnya dengan telunjuk hingga tertelan. Aku tak tahu berapa banyak sampah busuk yang masuk. Kepalaku jadi pusing dan pandangan tiba-tiba kabur. Terakhir yang aku lihat sebelum pingsan ada peronda yang lewat, membuat tiga pemuda itu terbirit-birit. Bangun-bangun aku terkapar di kamar dengan tubuh masih telanjang, dan mulutku belepotan mani.”
Sarno menjatuhkan punggung pada senderan kursi. Sedangkan saya memilih diam. Ada yang tak diceritakan Harti ketika malam celaka itu. Saya ingin segera pergi, tapi pegangan Harti semakin kuat di paha saya. Ia menahan saya. Saya menjadi gelisah, jangan-jangan ia tahu saya adalah peronda itu.
Sarno kembali mengamati mika hitam. Jarinya seperti menggambar sesuatu. Lalu ia melirik Harti, memperhatikan tubuhnya dengan teliti. Senyum penuh nafsu terlukis di wajahnya. Entah apa yang ada dalam pikiran Sarno.
“Aku bisa mengoperasi perutmu. Asal kau mau makan sampah punyaku.”
Harti membalas dengan senyuman.
“Kau tergoda juga denganku?”
“Perempuan tengik! Aku tak sudi!”
“Tak apa kalau tak mau. Masalahnya sudah jelas dan akan aku bereskan sendiri. Berapa biayanya tadi? Tiga ratus?”
Harti mengeluarkan uang dari tasnya. Uang itu ia taruh di atas meja lalu bergegas pergi begitu saja. Meninggalkan saya dan Sarno yang sama-sama tergoda pantat yang megal-megol seperti mentok berjalan.
Sepulang mengantar Harti, saya mendengar gibahan para istri. Mereka ternyata mulai menaruh curiga kepada suaminya. Pasalnya lelaki-lelaki di kampung jadi rajin meronda. Bahkan sering pamit meronda saat bukan jadwalnya. Mereka meronda hingga menjelang subuh. Sering juga saya temui lelaki-lelaki itu mondar-mandir depan rumah saya seperti menunggu giliran.
Dua malam setelahnya, jadwal saya ronda. Seperti hari-hari sebelumnya, lelaki-lelaki berkumpul di pos ronda, di persimpangan jalan, pokoknya tempat yang dekat rumah Harti. Lama-lama saya muak. Lalu memutuskan untuk keliling kampung. Saya lewat tempat pembuangan itu. Dan betapa jantung saya seperti digedor-gedor. Terdengar rintihan di balik tumpukan sampah. Saya mengintip diam-diam. Di tempat remang-remang itu Harti dikerubungi lima lelaki. Ia menungging, dan seketika kelima lelaki itu bertingkah seperti anjing yang berebut tulang. Satu orang berhasil memasukkan kemaluannya, keempat lelaki lain menggerayangi tubuh Harti. Secara bergilir mereka melakukan hal sama. Lalu tiba-tiba pada hentakan yang keras, lelaki itu mendorong tubuh Harti yang dingin. Ia tak lagi mendesah. Mulutnya kaku dan matanya menatap kosong.
Sejak hari itu, para warga tak lagi membicarakan Harti. Tapi saya merasa akan ada Harti yang lain yang menggegerkan para lelaki di kampung saya. Dan saya merindukan saat-saat itu tiba. Saat di mana saya bisa puas membuang sampah di mulut seorang Harti.
- Surga dalam Perut Harti - 14 October 2022
Usup
Gila, pokoknya.
Dino Whydi
keren parah
berpto
berpto sayang bermanfaat
redvenuss
Terlalu mengerikan. Gilaa
Edo
Ga jelas. Jln critanya ruwet
...oo
🤯🤯🤯🤯
didit sety nugroho
Luar biasa. diskripsi yang benar-benar menjajah imajinasi sampai menyeret jauh pada kegilaan dan kengerian situasi.
aispriyani
gilaaa,cerita yang memutar otak untuk berpkir
TempaTI
I don’t waste my free time in watching movies however I like to read content on net and obtain updated from most up-to-date technologies.
an
Aneh, bikin kening berkerut-kerut. Tapi berhasil buat penasaran. Bagus!