Susu: Bocah dan Perempuan

madu dan susu pun menitik

dari bibirku ketika aku menjawabnya

(Rupi Kaur, Milk and Honey, 2018)

Iklan kadang memberi peringatan tentang sejarah tersisih di jalanan sepi dan remang. Iklan di De Openbare School edisi Agustus 1939 menjadi pengantar ke sejarah minum susu di tanah jajahan. Susu itu sejarah. Susu di mulut-perut, susu di pikiran mengenang Indonesia masa lalu. Iklan wajar seperti iklan-iklan lain di masa akhir 1930-an. Iklan belum berwarna, belum disusupi propaganda Indonesia berpisah dari kolonialisme.

Iklan bertokoh dua lelaki berperawakan besar. Dua lelaki di suguhan “Soesoe Tjap Nona”. Dua lelaki dan “nona” hadir bersama di iklan. Kita melihat dua lelaki itu bumiputra. “Nona” di pembungkus kaleng susu berasal dari Eropa. Nona itu tak sedang diperebutkan dua lelaki adu kekuatan. Mereka itu bukti tak terbantahkan bagi orang-orang andai mau minum “Soesoe Tjap Nona” rutin setiap hari. Isi iklan malah mengarah ke bocah, bukan orang dewasa: “Soesoe jang paling baik oentoek makanan anak-anak, jang 40 tahoen laloe diperkenalkan di Hindia-Belanda. Soesoe jang membikin toean poenja anak-anak mendjadi koeat seperti gambar jang toean lihat di sini.” Iklan agak mencemaskan bagi orang tua. Bocah-bocah diminta minum susu setiap hari cuma bermaksud adu kekuatan saat tubuh sudah jadi besar dan gendut. Susu belum berpropaganda kecerdasan dan nasionalisme. Penamaan masih Hindia-Belanda, belum Indonesia. Iklan memberi tahu bahwa Nestle mempersembahkan “Soesoe Tjap Nona” sejak akhir abad XIX. Siapa nama orang-orang di Indonesia ada di urutan atas peminum “Soesoe Tjap Nona” menjelang pemberlakuan Politik Etis dan kebangkitan-nasionalisme kaum bumiputra?

Kita menduga para raja, bangsawan, saudagar, dan elite pribumi mulai rajin minum susu. Mereka ingin waras dan menjadi modern. Susu itu berwadah kaleng, mengenalkan gambar nona dari negeri jauh. Di mata bumiputra, minuman terasa asing itu pengesah modernitas. Kebiasaan cuma minum teh dan kopi mulai diselingi atau disaingi susu. Peniruan ke adab kaum Eropa di tanah jajahan. Di negeri asal, mereka terbiasa minum susu. Bekerja dan mencari duit di tanah jajahan tetap ingin minum susu, menghindari kurus, sakit, dan turun gengsi.

* * *

Iklan lawas itu bakal “remeh” di hadapan novel berjudul Fortunately, the Milk (Untunglah, Susunya) gubahan Neil Gaiman (2014). Bocah dan remaja di Indonesia menikmati novel itu melalui terjemahan Djokolelono. Judul sudah mengundang tebakan pembaca bahwa susu menjadi pokok cerita. Di Indonesia, pengarang-pengarang moncer mungkin belum bisa menulis novel bertema susu. Di Indonesia, para pengarang masih setia jadi peminum teh atau kopi. Sekian pengarang malah memuja air putih saja. Di kalangan pengarang sering berkumpul dan bercakap, suguhan susu di atas meja mirip dagelan telat mencipta tawa.

Novel apik bagi kaum pembual dan kaum mengimani susu demi kebahagiaan di dunia. Novel memiliki tokoh bapak suka membual. Ia tentu mencanggihkan bualan dengan rajin membaca koran setiap hari. Anak sulung berani meledek bapak: “Kurasa ia tidak memperhatikan dunia saat ia membaca koran.” Bapak dipastikan tak memberi perhatian pula pada istri dan anak-anak. Koran itu candu! Di negeri asing, pembaca koran masih cenderung bapak, belum direbut ibu. Di situ, ibu memberi pesan ke bapak agar selalu membuatkan susu bagi anak-anak setiap hari. Sang ibu mau pergi jauh. Bapak diminta bertanggung jawab setelah diketahui persediaan di rumah hampir habis.

Cerita menjadi parade bualan di pagi hari setelah bapak tak tega melihat anak-anak merengek minta susu. Di rumah, susu tak ada. Bapak kecanduan koran itu berpamit: “Kasihan kalian. Aku akan pergi ke toko pojok. Aku akan membeli susu.” Dua bocah di rumah sedang “merana” untuk menunggu sang bapak kembali ke rumah membawa susu. Mereka seperti mengulangi adegan dalam pentas Menunggu Godot, menuruti absurditas buatan Beckett. Mereka menunggu bapak atau susu? Mereka malah salah. Mereka menunggu bualan berupa cerita fantasi terjadi di pagi hari. Cerita terjadi di pelbagai tempat dengan tokoh-tokoh aneh. Tokoh utama itu sebotol susu. Bapak?

Kita ikhlas mendapat bualan-bualan di novel garapan Neil Gaiman. Kutipan percakapan bapak dan profesor di petualangan akhir, sebelum bapak berhasil sampai ke rumah. Profesor berkata: “Kita beruntung susunya ada padamu. Tak banyak susu yang berhasil selamatkan dunia.” Bapak menjawab kalem: “Yang selamatkan dunia, aku. Bukan susunya.” Segala cerita bapak dibantah dua anak. Cerita terlalu menggebu ditanggapi tatapan mata meremehkan dan sindiran-sindiran lembut. Dua anak menunggu terlalu lama. Mereka ingin minum susu! Bapak malah membual melakukan perlindungan sebotol susu dalam petualangan hidup-mati di negeri-negeri aneh. Bapak itu kecewa di hadapan dua anak. Di halaman akhir, pengarang menaruh bapak di kursi dengan keterangan: “Dan ia kembali membaca koran.” Kasihan.

* * *

Di negeri asing, susu menjadi gubahan cerita. Di Indonesia, susu pun berhubungan sastra. Kita mengartikan hubungan itu diperantarai pengenalan tokoh besar di perpuisian Indonesia, sejak masa 1950-an. Lelaki gagah bernama Rendra turut membesarkan imajinasi susu dan mengajak orang-orang minum susu di perlombaan berhadiah besar. Berita kecil dipasang di majalah Horison edisi September 1968. Kita membaca sambil mengenangkan masa setelah malapetaka 1965-1966: “Penjair-dramawan WS Rendra telah memenangkan sajembara penulisan reklame perusahaan susu untuk baji SGM di Jogjakarta dibulan Agustus jang lalu. Hadiah jang diperoleh besarnja Rp 150.000. ‘Lumajan untuk ongkos produksi beberapa pentas drama,’ berkata pemimpin Bengkel Teater Jogjakarta.”

Susu ada di biografi Rendra dan Bengkel Teater. Susu menghasilkan duit, menang tanpa ada pamrih besar mengabadikan dalam puisi balada sepanjang seribu bait. Susu itu cenderung ke teater, ketimbang ke sastra. Kita membaca berita lama tanpa ada pengulangan di tulisan-tulisan mutakhir mengenai Rendra. Pada puisi, Rendra memang menulis susu. Pengisahan susu bukan hasil pabrik tapi susu-perempuan. Rendra tak mengulang kata-kata menganjurkan konsumsi susu ke bayi. Puisi berjudul “Setelah Rambutmu Tergerai”. Imajinasi susu berubah ke raga dan berahi: “Bulu-bulu halus di susumu bergetar dilanda napas berahiku.”

Pada masa 1960-an, iklan-iklan susu merajalela di Indonesia. Koran dan majalah memuat iklan-iklan pelbagai merek. Susu berbeda jenis memberi beragam khasiat. Kata-kata diperlukan menggoda orang agar mau dan fanatik mengonsumsi susu. Rendra ada di pertumbuhan iklan susu. Iklan-iklan semakin menggebu dan “berkuasa” di majalah-majalah untuk wanita dan keluarga masa 1980-an. Garapan iklan berbeda dari imajinasi kebahasaan atau sajian rupa bermasa lalu 1960-an. Majalah berita dan umum pun menuai pendapatan dari iklan-iklan susu.

* * *

Kita membuka dulu majalah Tempo, majalah berpengaruh bagi kaum politik, bisnis, intelektual, dan seniman. Di Tempo edisi 5 Desember 1981, pembaca melihat iklan sehalaman berwarna di kertas tebal-mengilap. Foto keluarga: bapak, ibu, dan dua anak (lelaki dan perempuan). Dua anak mau dan sedang minum susu. Bapak dan ibu mesem, tak turut minum susu. Di bawah foto, 4 sapi merumput di pinggir danau atau sungai. Pesan terpenting: “Berikan si buah hati intisari alam sejati”. Kata-kata menjelaskan susu. Iklan pun memberi barisan kata teringat bocah selama puluhan tahun: “Susu Saya, Susu Bendera.” Konon, kata-kata itu dibuat pengarang Indonesia suka menulis cerita anak dan menerjemahkan sastra   dari pelbagai negeri.

Iklan di majalah Tempo tak semeriah iklan-iklan susu di majalah Kartini, 24 Juli-6 Agustus 1989. Sejak halaman awal sampai belakang, pembaca diserbu susu. Iklan-iklan mungkin mendukung program pemerintah: 4 sehat 5 sempurna. Susu di urutan kelima. Patokan 4 sehat 5 sempurna sudah digencarkan Soekarno sejak masa 1950-an. Pada masa kekuasaan Soeharto, janji menjadikan manusia Indonesia sehat dan cerdas meneruskan 4 sehat 5 sempurna. Propaganda khas rezim Orde Baru berupa poster-poster biasa dipasang di puskesmas, sekolah, dan balai desa, Mata kaum 1980-an bakal mengingat gambar nasi, sayur, lauk, buah, dan susu. Soeharto tak mau malu melihat jutaan orang kurus, bodoh, dan sakit. Susu menjadi dilema. Orang-orang miskin sulit membeli susu. Mereka memilih makanan pokok saja. Sulit tak berlaku di kalangan menengah-atas alias berduit.

Di majalah-majalah wanita dan keluarga, iklan-iklan susu termasuk andalan. Kita membuka pelan-pelan majalah Kartini. Di halaman awal, iklan dari Dancow berseru: “Susu terbaik untuk pertumbuhan.” Lihatlah, bocah mengalami peristiwa olahraga, belajar, dan minum susu! Ia membenarkan keampuhan susu: “Anak-anak yang tumbuh sehat dan menjadi No 1 selalu minum Dancow pilihan ibunya.” Di halaman 46, ada foto Mathias Muchus, aktor kondang. Ia bicara pada bocah: “Kalau Budi ingin berhasil seperti kakak, syaratnya rajin belajar, tekun berlatih dan minum Susu Bubuk Bendera setiap hari. Itu yang kakak lakukan sejak kecil.” Minumlah susu, jadilah artis! Mathias Muchus itu manusia beruntung, sejak kecil sudah rajin minum susu. Iklan diadakan oleh Frisian Flag (Susu Bendera). Pembaca belum khatam iklan susu. Di halaman 60, iklan dari Bebelac. Dulu, pembaca majalah sulit terbebas dari iklan susu. Pembaca mungkin malah sudah kecanduan minum susu. Masa lalu Indonesia pun bersusu.

* * *

Pada 2018, masa lalu ada di pinggiran ingatan. Susu “diminum” politik. Orang-orang sibuk “bertengkar” di televisi dan media sosial. Mereka memilih hal-hal besar agar politik melesat dari kewarasan. Di sela berita dan opini jarang membuat semringah, kita membaca Jawa Pos, 25 Oktober 2018. Prabowo Subianto berjanji membuat Indonesia bersusu. Tanggal pemuatan berita belum ke peringatan Sumpah Pemuda. Kita jangan memaksa ada pilihan diksi “sumpah susu” menuju 2019. Diksi janji terasa politis ketimbang sumpah telah “bersejarah”.

Prabowo meresmikan Gerakan Emak-Emak dan Anak-Anak Minum Susu (Emas) di Klender, Jakarta, 24 Oktober 2018. Berita agak penting untuk dikliping. Prabowo mengenang masa bocah tak suka minum susu. Ia memilih minum es. Segar! Adik bernama Hashim Djojohadikusumo malah bocah susu banget: “Beliau ini sebelum sekolah minum susu, siang minum susu, malam minum susu,” kata Prabowo. Perbedaan selera mengakibatkan tubuh Prabowo lebih pendek dari Hashim. Masa lalu susu terbawa ke hajatan demokrasi 2019.

Kita tak perlu melanjutkan memberi komentar ke berita-berita berkemungkinan mengundang tuduhan-tuduhan politis. Kita memilih membaca sampai khatam buku bersampul warna hitam berjudul Milk and Honey (2018), berisi puisi-puisi sendu dan berahi gubahan Rupi Kaur. Buku bagi kaum muda bersumpah berani menanggung seribu patah hati dan jatuh di jurang kecewa paling celaka. Buku bukan berisi iklan-iklan susu atau mengarahkan imajinasi sealur dengan puisi Rendra. Susu itu perlambang nasib bagi terang-gelap asmara. Perempuan itu sempat mengaku: menulis itu/ entah menyembuhkanku/ atau menghancurkanku. Bermula nasib tak tentu, diri mengingat susu di regukan asmara terpuitis tapi pedih. Ia di penderitaan susu. Perempuan itu enggan minggat dari asmara berpindah ke susu-komersial atau susu-politik. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!