Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani

Seorang perempuan setengah baya berjalan bersama putranya. Mereka berdua menuju kedamaian Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani (1079-1166). Maksud dari kedatangan sang ibu adalah ingin memondokkan sang anak agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan barokah.

“Tuan, tolong ajari ilmu agama dan bimbinglah anakku ini. Anak ini sangat senang dan takzim kepada Tuan,” ungkap sang ibu dengan penuh hormat dan pengharapan. Tuan para wali asal Jailan itu menerimanya dengan penuh ketulusan.

Sang ibu pulang sembari diiringi dengan adanya desir-desir keyakinan di kesunyian hatinya bahwa pada suatu hari nanti anaknya akan menjadi orang alim yang diberkati, menjadi orang yang takwa dan berguna bagi sesama.

Hari demi hari berlalu. Berlalu pula minggu demi minggu dan bulan demi bulan. Sang ibu dirundung rindu kepada anaknya. Tak tertahankan. Ingin rasanya menjenguk si anak. Maka ia berangkat menuju kediaman Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani.

Betapa kagetnya si ibu itu. Ia menyaksikan anaknya berubah drastis menjadi kurus. Seperti tak terurus. Sementara pada saat yang bersamaan, ia menyaksikan Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani begitu lahapnya menyantap daging ayam yang telah dimasak sedap sekali. Sebuah pemandangan yang cukup ironis bila dibandingkan dengan kondisi anaknya.

Muncul protes di hatinya. Lalu meluncur melalui lisannya. “Tuan, kenapa kau biarkan anakku kekurangan makan sehingga menjadi ceking seperti itu, sementara Tuan sendiri dengan lahapnya menikmati daging ayam?” protes sang ibu.

Sulthan al-Awliya’ itu lalu menggenggam tulang-tulang ayam tadi. Beliau melemparkan tulang-tulang itu sembari melafalkan, “Wahai Tuhan yang sanggup menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur, tolong hidupkan tulang-tulang ayam ini.” Seketika tulang-tulang itu menjadi ayam jantan yang hidup, lalu berkokok dengan suara manusia: “La ilaha illalLah. Muhammad Rasulullah. Syaikh ‘Abdul Qadir waliyyullah.”

“Nah, kalau anakmu sudah bisa begitu, silakan makan apa saja,” kata beliau kepada si ibu yang masih tertegun menyaksikan kejadian luar biasa yang baru saja menyedot perhatiannya.

Bagaimana Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani bisa memasuki kedudukan spiritual yang cemerlang seperti itu? Kenapa doanya diijabahi Tuhan secara langsung, tidak sebagaimana doa-doa kebanyakan kita yang tidak jelas juntrungannya?

Ketahuilah bahwa beliau itu telah sepenuhnya merdeka dari kediriannya sendiri, termasuk juga terbebaskan dari kekeruhan egoisme yang bisa menarik beliau ke dalam jurang keakuan yang kelam. Beliau sudah sepenuhnya menjadi pengejawantahan dari tajalli Tuhan. Karena itu, doanya serupa doa Tuhan yang ditujukan kepada hadiratNya sendiri. Bagaimana mungkin tidak dikabulkan?

Pengalaman demi pengalaman rohani beliau begitu memukau. Sedemikian banyaknya. Sebagian muncul menjadi ungkapan-ungkapan spiritual yang sangat dalam maknanya. Dan di dalam substansi ungkapan-ungkapan itu ada keselamatan, ada kemuliaan, ada kejayaan, ada martabat yang tinggi di hadapan Tuhan.

Sungguh beruntung siapa pun yang menyelaminya dengan penuh ketulusan dan kesungguhan sembari berharap dengan penuh keyakinan bahwa rohaninya akan tersambung dengan rohani Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani lewat barokah beliau dan syafa’at Kanjeng Rasulullah Saw.
Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Comments

  1. Usamah Reply

    Dongeng yg bagus.

    • Rizal Muhammad Reply

      Bapak ini emang pinter ngarang tentang ulama2.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!