Beliau adalah seorang sufi yang sangat minim referensinya. Tentang beliau, yang saya tahu hanya berada di dalam satu kitab, tidak di kitab-kitab yang lain. Yaitu, termaktub di dalam kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami. Di dalam kitab itu disebutkan bahwa beliau adalah ‘Abdullah bin ‘Isham al-Maqdisi.
Cuma itu saja yang diungkapkan. Tidak ada keterangan tentang tempat lahir. Tidak pula diterangkan tentang siapa guru-gurunya, siapa sahabat-sahabatnya, di mana beliau wafat, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan hal yang asing bagi saya pribadi.
Di dalam kitab Nafahat disebutkan bahwa Syaikh ‘Abdullah al-Maqdisi pernah berjumpa dengan Rasulullah Muhammad Saw di dalam sebuah mimpi. Beliau bertanya kepada Nabi Junjungan Saw: “Apakah hakikat dari seluruh perbuatan baik ini? Kenapa aku menyibukkan diri di dalamnya?”
Nabi Muhammad Saw memberikan jawaban kepada sang sufi: “Aku merasa malu kepada Allah Ta’ala jika engkau bersama makhluk. Janganlah engkau lupa kepada hadiratNya.” Setelah Kanjeng Rasul Saw memberikan jawaban tersebut, sang sufi kemudian merasa menjadi lebih tenang di dalam mengikuti jejak-jejak Nabi Junjungan Saw.
Syaikh ‘Abdullah al-Maqdisi kemudian memohon lagi kepada Nabi Pungkasan Saw: “Tolong tambahkan lagi wejanganmu kepadaku ya Rasul.” Putra ‘Abdullah itu pun bersabda: “Jika di dalam batin engkau senantiasa bersama Allah Ta’ala, maka secara lahir engkau mesti bersama makhluk dan menunaikan hak-hak mereka.”
Berjumpa dengan Nabi Muhammad Saw di dalam mimpi adalah sebuah karunia agung yang tidak setiap umat Islam mengalaminya. Ada banyak orang yang hampir saja mengalaminya tapi tidak jadi. Misalnya, dikabarkan oleh orang-orang bahwa Nabi Muhammad Saw akan menjadi imam shalat sebentar lagi di masjid sini. Mereka pun pada menunggu untuk sowan kepada Nabi Junjungan Saw itu. Eh, sebelum tiba, mereka sudah bangun.
Itu artinya apa? Itu tidak lain adalah bahwa siapa pun yang mengalami mimpi seperti itu berarti belum sampai pada kedudukan rohani tertentu yang bisa mengantarkannya pada perjumpaan dengan Rasulullah Saw. Atau mimpi seperti itu boleh jadi juga merupakan sebuah pengantar bagi adanya mimpi perjumpaan dengan Orang Agung Saw dari Tihamah tersebut.
Apalagi kalau di dalam sebuah mimpi itu tidak saja berjumpa dengan Nabi Muhammad Saw, tapi juga disertai oleh perhatian dan sabda-sabdanya sebagaimana yang telah dialami oleh Syaikh ‘Abdullah al-Maqdisi. Hal itu menunjukkan kepada kita bahwa betapa sangat beruntung beliau.
Di dalam mimpi itu, sang sufi betul-betul telah menjadi bagian dari kehidupan diri Sang Nabi Saw. Bahkan Kanjeng Rasul Saw itu sendiri merasa malu kepada Allah Ta’ala kalau sampai si sufi itu hanya senantiasa bersama dengan makhluk, jauh dan kosong dari kehadiran hadiratNya.
Mestinya yang ideal adalah, sebagaimana sabda Rasulullah Saw dalam mimpi sang sufi, secara lahiriah kita senantiasa bersama makhluk dan menunaikan hak-hak mereka. Sementara secara batin kita mesti bersama Allah Ta’ala, tidak pernah lepas sejenak pun dari kehadiran hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024