Beliau adalah ‘Abdullah bin Muhammad Abu Muhammad yang dikenal dengan sebutan al-Murtaisy. Pertama beliau dikenal sebagai seorang sufi dari Nisapur. Lalu, beliau dikenal pula sebagai seorang sufi dari Baghdad. Selain sebagai seorang sufi di Irak, beliau juga dikenal sebagai bagian dari sahabat Syaikh Abu Hafsh al-Haddad. Beliau juga sempat menyaksikan Syaikh Junaid al-Baghdadi.
Konon disebutkan bahwa keajaiban-keajaiban Baghdad itu ada tiga. Pertama, isyarat-isyarat Syaikh Abubakar asy-Syibli. Kedua, lelucon Syaikh ‘Abdullah al-Murtaisy. Ketiga, hikayat-hikayat Syaikh al-Khuldi. Dan, pada tahun 328 Hijriah di sebuah masjid di Syuniziyyah, Baghdad telah kehilangan putra terbaiknya. Yaitu, dengan wafatnya Syaikh ‘Abdullah al-Murtaisy.
Sebagai seorang senior, pernah pada suatu hari Syaikh Abu Hafsh al-Haddad menyuruh sang sufi untuk senantiasa bepergian. Dengan penuh rasa patuh, sang sufi melaksanakannya dengan sepenuh hati. Di dalam setiap tahun, beliau selalu bepergian dengan menempuh jarak sejauh seribu farsakh.
Perlu diketahui bahwa satu farsakh itu sama dengan lima ribu lima ratus empat puluh satu meter. Dan jumlah itu masih dikali seribu. Dengan tanpa penutup kepala dan tanpa alas kaki. Sama sekali. Betapa hal tersebut merupakan sebuah tirakat yang sangat ekstrem, sebuah olah batin yang orang-orang hari ini pasti tidak suka melaksanakannya.
Tidak hanya itu. Beliau tidak pernah berhenti di sebuah kota selama sepuluh hari. Sebelum hari kesepuluh, beliau dapat dipastikan sudah pergi meninggalkan kota itu. Bahkan di kebanyakan kota-kota itu, beliau hanya tinggal selama tiga hari. Tidak lebih dari itu. Sungguh, setidaknya bagi saya pribadi, sangat mengasyikkan sekaligus melelahkan.
Beliau adalah seorang sufi yang senantiasa memproses dirinya sendiri di jalan keilahian. Pantangan bagi beliau untuk mandek. Dalam konteks kesufian beliau, mandek itu tidak hanya bermakna statis atau jumud, tapi merupakan awal dari sebuah kematian rohani. Na’udzu bilLah.
Jelas bahwa sesungguhnya posisi yang demikian merupakan salah satu cara untuk “mengejar” Allah Ta’ala. Tapi Tuhan semesta alam yang mutlak itu tidak mungkin untuk bisa dikejar oleh segala yang nisbi dan centang perenang oleh perputaran masa. Dia terlampau agung untuk bisa dikejar oleh apa dan siapa pun.
Tapi dengan kemurahan yang disandang oleh hadiratNya, bisa saja Dia menjumpai siapa pun yang dikehendaki dari kalangan para hambaNya. Tak terkecuali Syaikh ‘Abdullah al-Murtaisy. Ketika beliau ditanya oleh seseorang tentang amal apakah sesungguhnya yang paling utama?
Beliau menjawab: “Menyaksikan karunia Allah Ta’ala.” Dengan adanya penglihatan yang bening dan tajam, dia sebenarnya tidak saja menyaksikan karunia, tapi terutama menyaksikan Si Pemberi karunia itu sendiri. Itulah yang disebut dengan ru’yatul mun’im ‘alan ni’am. Yaitu, lebih menyaksikan Sang Pemberi karunia ketika sedang berhadapan dengan karunia itu.
Beliau lantas membaca sebuah puisi: “Sesungguhnya berbagai macam takdir apabila telah berpihak kepada diri kita, maka takdir-takdir itu akan menemui kita yang lemah dengan penuh kegagahan.” Dan Syaikh ‘Abdullah al-Murtaisy adalah salah seorang yang pernah ditemuinya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025