
Beliau adalah persis sebagaimana judul di atas. Tidak lebih dan tidak kurang. Setidaknya itulah yang bisa saya ambil dari Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami. Karena tentang beliau, tidak ada dari kitab-kitab thabaqat yang menyebut namanya kecuali Kitab Nafahat tersebut yang diambil dari Kitab Sirah ‘Abdillah bin al-Khafif.
Diriwayatkan oleh Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif bahwa Syaikh ‘Abdullah al-Qashshar pernah mengatakan kalau dirinya pada suatu waktu dulu pernah berangkat untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Para sufi dari Syiraz menyatakan kepada beliau: “Jika engkau berjumpa dengan Syaikh Sahl bin ‘Abdillah at-Tustari, tolong sampaikan salam kami kepada beliau.
Tolong katakan kepada beliau bahwa kami mengakui keutamaan beliau. Kami membenarkan kata-kata beliau. Kami menginginkan jawaban dari beliau tentang kalimat yang kami dengar dari beliau. Yaitu, engkau keluar pada hari ‘Arafah dari tempatmu. Dan pada saat yang bersamaan engkau pergi ke tempat-tempat lain di ‘Arafah bersama mereka yang menunaikan ibadah haji.
Kalau hal itu benar, tolong sampaikan kepada kami. Kami pasti mempercainya. Syaikh ‘Abdullah al-Qashshar kemudian menyatakan bahwa dia memiliki niatan untuk datang kepada Syaikh Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari. Dia mempersiapkan diri untuk ketemu dengan Syaikh Sahl tersebut.
Dia datang beneran kepada Syaikh Sahl itu. Setelah mengucap salam dan dipersilakan duduk, kini waktunya dia mendengarkan wejangan dari Syaikh Sahl. Syaikh Sahl dalam posisi duduk. Badannya dibungkus oleh sarung. Di depan beliau ada bekiak. Kedua mata beliau terbuka. Pakaiannya seperti pakaian orang yang kebingungan.
Tapi sedemikian berwibawanya beliau. Sehingga dia tidak memiliki keberanian sama sekali untuk berbicara dengan beliau. Mulutnya seperti kelu. Seperti terkunci. Lalu, datanglah seorang perempuan yang kemudian berkeluh kesah tentang anaknya yang lumpuh. Perempuan itu berharap kepada Syaikh Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari untuk mendoakannya.
“Kenapa tidak kau bawa anakmu itu ke sisi Tuhannya?” kata Syaikh Sahl kepada perempuan itu. Perempuan tersebut menjawab: “Bukankah engkau adalah orang datang dari sisi Tuhannya?” Syaikh Sahl memberikan isyarat dengan tangannya kepada Syaikh ‘Abdullah al-Qashshar. Syaikh ‘Abdullah lalu berdiri dan mengambil tangan Syaikh Sahl.
Syaikh Sahl berdiri dan mengenakan bekiaknya. Perempuan itu mengajak beliau ke sebuah pantai. Di pantai itu, Syaikh ‘Abdullah al-Qashshar melihat seorang anak di sebuah sampan. Syaikh ‘Abdullah bilang kepada anak itu: “Julurkan tanganmu kepadaku.” Anak itu menjawab: “Aku tidak mampu menjulurkan tanganku kepadamu.”
Syaikh Sahl kemudian bilang kepada perempuan itu untuk menjauh dari anak tersebut. Si anak lalu memberikan tangannya kepada beliau. Syaikh Sahl bilang kepadanya: “Berdirilah wahai anak.” Anak itu lalu berdiri dan turun dari sampan. Si tukang sampan disuruh pergi oleh Syaikh Sahl. Dan si anak itu disuruh berwudhuk dan shalat.
Apa gerangan yang paling menakjubkan dari kisah tersebut? Seorang anak yang lumpuh disuruh berdiri oleh Syaikh Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari. Tiba-tiba ia berdiri dan berjalan. Disuruh wudhuk dan shalat. Ia pun melaksanakan perintah itu. Betapa menakjubkan. Ketika seorang sufi yang mutlak hidupnya untuk Allah Ta’ala memerintahkan sesuatu, anak itu dengan riang gembira melaksanakannya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Nashr as-Sarraj - 14 March 2025
- Syaikh Bab al-Farghani - 7 March 2025
- Syaikh Abu Hamid al-Muhib - 28 February 2025