Syaikh ‘Abdullah an-Nabadzani

Inilah seorang sufi yang paling minim pengetahuanku tentang beliau. Hanya berada di satu kitab saja, Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami, tidak termaktub di dalam kitab-kitab thabaqat yang lain. Namanya persis sebagaimana judul di atas, tidak ada tambahan sama sekali.

Dituturkan oleh Syaikh al-Islam, Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi, bahwa Syaikh ‘Abdullah an-Nabadzani pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad Saw di dalam mimpi. Beliau bertanya kepada Kanjeng Rasul Saw: “Wahai Rasulullah, bersama dengan siapakah aku ini?” Sebuah pertanyaan yang ingin memastikan tentang posisi dirinya di hadapan Allah Ta’ala.

Yang ditanya itu, Nabi Muhammad Saw, menjawab dengan memberikan adanya sebuah keyakinan: “Bersama suatu kaum yang merupakan tamu-tamu di dalam kehidupan di dunia ini, sama sekali bukanlah tuan rumah.” Sebuah jawaban yang memberikan pengharapan yang sangat menyenangkan bagi orang yang bertanya.

Kebersamaan dengan para tamu tidak lain merupakan kebanggaan spiritual di dalam kehidupan ini. Dengan adanya suatu alasan yang pasti bahwa mereka adalah orang-orang yang paling sadar tentang adanya kehidupan yang cuma sejenak, orang-orang yang paling sadar tentang efektivitas waktu, orang-orang yang paling sadar tentang momen dan pihak-pihak lain.

Sebagai tamu-tamu Allah Ta’ala, mereka tahu betul bagaimana mesti bersembah-sujud kepada hadiratNya di dunia ini dengan sepenuh hati, tanpa kepikiran tentang segala sesuatu yang lain. Hidup dan mati mereka mutlak karena hadiratNya, bukan karena apa pun yang lain. Sehingga di dalam kehidupan ini mereka sedemikian tenteram, sedemikian damai.

Sebagai tamu-tamu umat manusia, mereka sama sekali tidak berharap untuk dihargai. Malah sebaliknya. Mereka berbuat sedemikian rupa untuk memberikan yang terbaik bagi kehidupan. Meskipun mereka tergolong fakir-miskin, pantangan bagi mereka untuk meminta-minta dan bersandar kepada makhluk. Tambatan mereka adalah mutlak Allah Ta’ala.

Sebagai tamu-tamu alam semesta, mereka sama sekali tidak merusak atau mengganggu tuan rumah. Hal itu betul-betul merupakan pantangan bagi mereka. Mereka datang ke kehidupan ini bukan untuk menjadi beban bagi alam semesta, tapi pasti menjadi ornamen-ornamen yang membahagiakan kehidupan.

Menurut penulis kitab Nafahat, apa yang disebut sebagai para tamu itu identik dengan fakir-miskin. Sebuah sebutan yang tidak saja menunjuk kepada strata sosial dengan kondisi ekonomi tertentu, tapi jelas secara rohani merupakan kebanggaan yang bahkan disenangi oleh Nabi Muhammad Saw sendiri. Dan beliau pun termasuk bagian dari mereka.

“Ya Allah,” rintih Kanjeng Rasul Saw, “hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan kumpulkanlah aku bersama dengan orang-orang miskin.” Sebuah permohonan yang sungguh-sungguh membutuhkan keberanian untuk mengungkapkannya.

Nabi Muhammad Saw merupakan orang yang miskin. Tidak dalam artian beliau tidak bisa menjadi kaya, sama sekali tidak demikian. Karena beliau telah ditawari oleh Allah Ta’ala lima gunung yang siap berubah menjadi emas, Gunung Abi Qubis, Gunung Hira’, Gunung Tsur, Gunung Bathha’ dan Gunung ‘Arafat, tapi semua itu ditolak oleh beliau. Betapa sangat gagah rohani beliau. Betapa sangat tangguh spiritualitasnya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!