Syaikh ‘Abdullah ar-Razi

Beliau adalah ‘Abdullah al-Haddad ar-Razi. Begitu selektif beliau terhadap berbagai macam keinginannya sendiri. Tidak semuanya diloloskan. Bahkan lebih banyak yang tidak diloloskan. Hanya sedikit saja, terutama yang berkaitan dengan Allah Ta’ala, yang diloloskan.

Pada saat yang bersamaan, beliau senantiasa menyaksikan kehadiran Tuhannya. Melalui berbagai macam peristiwa, fenomena dan aneka ragam kejadian lainnya. Atau lewat kesaksian beliau terhadap berbagai macam rupa dan warna, juga terhadap keanekaragaman yang sempurna di tengah kehidupan yang sangat temporal ini.

Pada suatu saat, beliau dengan tegas menyatakan bahwa penghambaan merupakan sesuatu yang konkret, yang bisa disaksikan oleh siapa saja. Sedangkan substansi dari kemerdekaan diri sendiri merupakan sesuatu yang tersembunyi. Keduanya merupakan akhlak yang terpuji, warisan dari orang-orang yang luhur.

Dengan penghambaan itu, kita bisa menekan egoisme diri sendiri hingga titik darah penghabisan, sampai lenyap seluruh keakuan diri. Setelah itu, kita akan bersembah sujud dengan sepenuh hati, tanpa ada rasa kepentingan untuk menoleh sedikit pun kepada ini maupun kepada itu. Kita kandung Allah Ta’ala di dalam diri, dan Dia mengandung kita di tengah lautan kemahaanNya.

Dan dengan substansi kemerdekaan diri itu, kita mendendangkan lagu cinta dan kerinduan yang paling purba kepada asal-usul diri kita, juga kepada akhir dari segalanya yang tidak lain adalah Allah Ta’ala. Dengan substansi kemerdekaan diri itu, kita pastikan bahwa yang ada sesungguhnya hanya satu. Dari dulunya dulu hingga kapan pun. Yaitu, Dia semata. Selebihnya hanyalah bayang-bayang saja.

Dengan adanya kesadaran spiritual yang sedemikian tangguh tersebut, dengan perkenan hadiratNya, kita akan memasuki gelanggang kehidupan ini dengan sepenuhnya berbahagia, merdeka dari segala derita dan nestapa. Syukurnya kepada Allah Ta’ala akan sentiasa melahirkan getar-getar syukur berikutnya sampai tidak terhingga.

Begitu sangat hebat. Begitu sangat mengagumkan. Karena di sisi yang lain, sebagaimana yang telah dialami oleh Syaikh ‘Abdullah ar-Razi sendiri, beliau sedemikian tangguh dengan kesabarannya. Bagi beliau sendiri, kesabaran adalah meninggalkan keluh kesah, menidurkan segala bahaya dan bencana di kedalaman hatinya yang paling sempurna.

Melalui perantara sabar dan syukur itu, melalui sayap keduanya, beliau senantiasa terbang dengan gesitnya, minal akwan ilal mukawwin, dari alam ciptaan menuju Penciptanya yang tidak pernah dibatasi oleh garis apa pun. Melalui perantara sabar dan syukur itu pula beliau sesungguhnya sedang menari-nari di altar kehidupan ini.

Baik sabar maupun syukur, keduanya sebenarnya merupakan representasi dari akhlak mulia Allah Ta’ala, merupakan dua nama agung yang bersumber dari nama-nama hadiratNya yang begitu indah dan menawan. Melalui kedua nama itu pula sesungguhnya seseorang berarti telah menjadi representasi dari kehadiran hadiratNya yang begitu nyata di dalam kehidupan ini.

Berakhlak dengan nama Allah Ta’ala itu tidak lain merupakan bagian dari melaksanakan ajaran-ajaran hadiratNya. “Berakhlaklah kalian semua sebagaimana akhlak Allah Ta’ala,” ujar Kanjeng Rasul Muhammad Saw. Betapa sungguh mengagumkan. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!