Beliau adalah paman dari Syaikh Yusuf bin al-Husin ar-Razi yang wafat pada tahun 303 Hijriah. Beliau termasuk salah seorang sufi dari generasi awal. Dalam konteks kualitas spiritual, beliau sepantaran dengan Syaikh Dzun Nun al-Mishri, atau bahkan malah lebih utama ketimbang sufi dari Mesir itu.
Tentang gambaran mengenai spiritualitas Syaikh ‘Abdullah ar-Razi, sang keponakan menuturkan kisah berikut ini. “Setelah aku pulang dari Syaikh Dzun Nun al-Mishri,” Syaikh Yusuf bin al-Husin ar-Razi memulai kisahnya, “aku memfokuskan langkah-langkahku menuju Rey, terus kulanjutkan perjalanan hingga akhirnya aku sampai di Baghdad. Di sana aku ketemu pamanku, Syaikh ‘Abdullah ar-Razi, yang hendak pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Lalu, terjadilah dialog sebagaimana berikut ini.
+’Dari mana engkau?’ tanya beliau kepadaku.
–‘Dari Mesir. Mohon berikan nasihat kepadaku,’ jawabku.
+’Kau tidak akan bisa menerima nasihatku.’
–‘Boleh jadi aku bisa menerimanya.’
+’Kau tidak akan bisa menerima nasihatku.’
–‘Boleh jadi aku bisa menerimanya.’
+’Kau tidak akan bisa menerima nasihatku.’
— ‘Boleh jadi aku bisa menerimanya.’
+’Baiklah. Apabila nanti malam telah larut dan sunyi, semua kitab yang kau miliki dan segala yang kau tulis tentang Dzun Nun al-Mishri, semua itu lemparkanlah ke Sungai Tigris.’
–‘Akan kupikir-pikir dulu.’
Sepanjang malam aku tidak bisa tidur. Pikiran yang gundah berkecamuk di dalam diriku. Hatiku tetap tidak berani untuk melemparkan kitab-kitab itu. Aku kemudian mendatangi pamanku dan menceritakan kepada beliau perihal ketidaksanggupanku.
+’Sudah kukatakan kepadamu bahwa engkau tidak akan sanggup.’
–‘Tolong berikan kepadaku nasihat yang lain.’
+’Kau tidak akan bisa menerima nasihatku.’
–‘Boleh jadi aku bisa menerimanya.’
+’Baiklah. Apabila engkau sudah sampai di Rey, engkau tidak boleh mengatakan kepada siapa pun bahwa engkau telah berjumpa dan berkumpul dengan Dzun Nun al-Mishri. Jangan jadikan hal itu sebagai jualanmu.’
–‘Aku pikir-pikir dulu.’
Setelah beberapa waktu, aku mendatangi pamanku dan kukatakan kepada beliau bahwa mengamalkan nasihat yang kedua ternyata lebih sulit ketimbang melaksanakan nasihat yang pertama.
+’Bukankah sudah kubilang bahwa engkau tidak akan sanggup mengamalkan nasihatku?’
Syaikh ‘Abdullah ar-Razi, pamanku sendiri, kemudian menawarkan kepadaku sebuah nasihat yang lain lagi, nasihat yang menjadi jimat selama sisa hidupku: ‘Apabila engkau masuk rumah, maka jangan mengajak makhluk. Dan tidak boleh mengatakan bahwa engkau mengajak mereka kepada Allah Ta’ala. Tetaplah bersama Allah Ta’ala selamanya, jangan pernah meninggalkan persahabatan dengan hadiratNya’.”
Ada yang cukup menarik dari nasihat itu. Yaitu, adanya perintah untuk melemparkan kitab-kitab dan berbagai catatan tentang Syaikh Dzun Nun al-Mishri ke Sungai Tigris. Apakah hal itu mesti dimaknai sebagai penghinaan atau merupakan perbuatan yang sia-sia semata?
Tidak. Sama sekali tidak. Di dalam menempuh proses-proses rohani, ada kalanya para salik terkungkung oleh kitab-kitab yang ditekuni, atau mandek oleh tokoh-tokoh yang dikagumi. Yakni, ketika mereka hanya berhenti sebagai pengagum-pengagum belaka, tanpa berjerih-payah untuk senantiasa menelusuri reputasi spiritual dari orang-orang yang dikagumi dengan amal-amal yang nyata dan ketulusan.
Dengan membuang kitab-kitab dan berbagai catatan spiritual itu, para salik diharapkan untuk sepenuhnya mengarahkan langkah-langkah yang murni tertuju kepada Allah Ta’ala belaka, bukan hanya tertegun kepada berbagai pengetahuan sufistik dan karomah-karomah para wali yang sangat mengagumkan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024