Beliau adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin Munazil Abu Muhammad. Di Nisapur, beliau dikenal sebagai seorang sufi yang agung. Beliau memiliki model tarikat tersendiri. Beliau menempuh kehidupan ini dengan tarikat tersebut. Beliau bersahabat dengan Syaikh Hamdun al-Qashshar. Juga mengambil thariqah dari imam Malamatiyyah tersebut.
Salah seorang sufi agung pernah menyatakan bahwa dia mengetahui seorang lelaki yang sempurna dan seseorang yang separuh lelaki. Yang separuh lelaki adalah Syaikh an-Nashrabadzi yang sering kali sukses menjadikan manusia condong kepada tarekat Malamatiyyah. Sedangkan seorang lelaki yang sempurna adalah Syaikh ‘Abdullah bin Munazil yang tidak melihat manusia.
Tentu saja hal tersebut hanyalah merupakan sebuah penilaian yang dapat dipastikan tidak sama antara seorang sufi dengan sufi yang lain. Akan tetapi jelas bahwa separuh lelaki itu pastilah menunjuk kepada seseorang yang kurang pas ketika mengambil keputusan, kurang pas posisi dirinya di hadapan Allah Ta’ala.
Akan tetapi bagi saya pribadi, meskipun hanya separuh lelaki, pastilah jauh lebih unggul secara spiritual dibandingkan dengan saya yang bisa dikatakan tidak ada apa-apanya di hadapan sang sufi separuh lelaki tersebut. Beliau dapat dipastikan jauh lebih bermartabat. Lebih bermanfaat bagi kehidupan sesama.
Apalagi jika dibandingkan dengan seorang lelaki yang sempurna. Tidak mungkin kami bisa mengimbangi dalam hal kebaikan dan kemuliaan, dalam hal keteguhan hati di hadapan hadiratNya, dalam hal kemanfaatan terhadap umat manusia. Dalam hal apa pun, pastilah kami berada di bawahnya.
Seorang lelaki yang sempurna adalah dia yang telah rampung segala urusan duniawinya, yang tidak terseret ke sana ke mari oleh tetek bengek kehidupan, yang hidupnya telah mutlak tawajjuh kepada Allah Ta’ala, sembari menyebarkan aneka ragam kemanfaatan kepada kehidupan manusia, utamanya mereka yang papa dan terpinggirkan.
Dan orang yang seperti itu tidak lain adalah Syaikh ‘Abdullah bin Munazil sendiri. Seorang sufi yang tidak saja menguasai ilmu-ilmu batin, tapi juga sedemikian detail memahami ilmu-ilmu lahir karena mutlak berkaitan dengan pengalaman-pengalamannya sendiri ketika masih muda.
Dengan tegas beliau pernah mengatakan bahwa barang siapa tidak pernah merasakan “hinanya” kasab, barang siapa tidak pernah merasakan hinanya permohonan, barang siapa tidak pernah merasakan hinanya ditolak permohonannya, maka jelas tidak ada kebaikan di dalam diri orang tersebut.
Artinya adalah bahwa di dalam dunia tasawuf, berjerih-payah dengan dunia kasab itu merupakan sesuatu yang mulia. Akan tetapi jelas bahwa hal itu mesti dijadikan sarana untuk kedudukan-kedudukan yang jauh lebih tinggi secara rohani. Sehingga kegandrungan “kita” kepada hadiratNya menjadi lebih gamblang dan nyata dibandingkan terhadap dunia kasab itu.
Demikian pula dengan hinanya permohonan dan permohonan yang ditolak, hal itu menjadi mulia kalau langsung menjadi lompatan yang tegas tertuju kepada Allah Ta’ala, dari berharap dan memohon kepada manusia menjadi berharap dan memohon kepada hadiratNya. Betapa mulia. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari - 20 September 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024