Beliau adalah Ahmad bin ‘Ashim Abu ‘Abdillah al-Anthaki. Termasuk salah seorang sufi dari masa awal. Bersahabat dengan para sufi terdahulu seperti Syaikh al-Harits al-Muhasibi dan Syaikh Fudhail bin ‘Iyadh. Beliau juga sempat menyaksikan generasi setelah kaum tabi’in atau orang-orang sesudah periode sahabat Nabi Muhammad Saw.
Menurut Syaikh Abu Nu’aim al-Ashfihani di dalam kitab Hilyah al-Awliya, Syaikh Abu ‘Abdillah al-Anthaki adalah seorang sufi yang sanggup mematahkan segala keinginannya yang buruk dan sia-sia, sanggup meremukkan kejahatan nafsu amarahnya, sanggup menghancur-leburkan setiap yang tercela pada dirinya. Beliau juga senantiasa mengisi malam-malamnya dengan sembah sujud dan munajat yang sangat syahdu dengan Tuhannya.
Menurut Syaikh Abu ‘Abdillah al-Anthaki, kehidupan setiap orang sebenarnya secara hakiki merupakan “harta” ghanimah bagi masing-masing mereka. Tentu saja tidak dalam konteks pemahamannya secara harfiah yang berarti harta hasil rampasan perang, tapi lebih bermakna sebagai gelontoran karunia yang masih mentah dan karenanya mesti dikelola sedemikian rupa agar menjadi sangat menguntungkan bagi masing-masing mereka.
Kehidupan setiap orang, dengan demikian, semestinya senantiasa ditanami berbagai nilai agung yang ditandai dengan segenap perilaku dan perbuatan terpuji dengan mengikuti aneka ragam ketauladanan secara substansial yang telah dicontohkan oleh junjungan kaum beriman, Nabi Muhammad Saw.
Harta ghanimah dalam konteks pemahamannya secara sufistik itu menunjuk kepada adanya dua dimensi pada diri manusia yang sama-sama dimungkinkan menjadi gudang spiritual yang melimpah dengan nilai-nilai keilahian. Yaitu, dimensi lahir dan dimensi batin, dimensi jasmani dan dimensi rohani, dimensi yang konkret dan dimensi yang abstrak.
Dimensi jasmani menjadi indah dan kebak dengan kemuliaan karena kesanggupannya menyediakan diri sebagai tanah yang subur bagi berbagai benih dan tanaman rohani. Pada saat yang demikian, dimensi rohani bisa dikatakan telah berutang budi kepada dimensi jasmani yang telah menjadikan segenap potensinya terejawantahkan dengan konkret dan sempurna. Keduanya mesti menjadi satu kesatuan yang kompak dan solid.
Bagi Syaikh Abu ‘Abdillah al-Anthaki, ketika kehidupan seseorang secara spiritual telah terkondisikan dengan mapan sebagaimana digambarkan di atas, maka minimal akan muncul dua hal yang sangat menguntungkan bagi siapa pun yang mengalaminya. Pertama, dalam setiap mengerjakan kebaikan, dia akan merasakan kenikmatan spiritual yang sangat menyenangkan. Tidak lagi merasa terpaksa dan terbebani oleh kewajiban.
Jika diteruskan dengan penelusuran lebih jauh ke alam hakikat, ketika seseorang menikmati kelezatan spiritual di saat mengerjakan aneka ragam kebaikan, baik secara vertikal maupun secara horizontal, sesungguhnya yang dia nikmati tidak lain adalah Tuhannya sendiri, baik hal itu disadari ataupun tidak. Sebab, di dalam dunia makrifat, tidak ada apa pun yang bisa dinikmati selain hadiratNya belaka.
Kedua, di dalam menjalani sisa umur di dunia ini, akan dihamparkan baginya permadani pengampunan, baik terhadap dosa-dosanya yang telah lewat maupun terhadap kemungkinan munculnya dosa-dosa pada bentangan waktu yang akan dijelang.
Itulah realitas dari apa yang disebut sebagai jalan yang lurus. Itulah jalan rohani yang telah ditempuh oleh para rasul, para nabi, para wali, dan para sufi. Itulah jalan kenikmatan yang hakiki. Itulah jalan hidup yang steril dari berbagai tipuan dan segala yang sia-sia. Terhadap jalan itulah kita seharusnya menggabungkan diri dengan mereka. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 1 November 2024
- Syaikh Abu Muhammad ar-Rasibi - 25 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah al-Muqri - 18 October 2024