Beliau adalah Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Maghribi. Guru dari Syaikh Ibrahim al-Khawwash, Syaikh Ibrahim bin Syaiban asy-Syahi, dan Syaikh Abu Bakar al-Bikandi. Murid dari Syaikh Abu al-Hasan ‘Ali bin Razin. Umur beliau sangat panjang, mencapai seratus dua puluh dua tahun. Wafat pada tahun 299 Hijriah. Kuburannya berada di puncak Gunung Sinai, bersebalahan dengan kuburan gurunya, Syaikh Abu al-Hasan ‘Ali bin Razin, di bawah pohon khornub (carob, Inggris).
Tentang kecemerlangan spiritualitas sang sufi ini, Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi memberikan kesaksiannya dengan tegas: “Makhluk-makhluk berada di dalam kegelapan, sementara Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maghribi sama sekali tidak melihat kegelapan.”
Kalau kita merujuk kepada kitab al-Hikam karya Syaikh Tajuddin bin ‘Athaillah as-Sakandari, apa yang disebut sebagai kegelapan itu adalah identik dengan ketiadaan. Sedangkan cahaya merupakan sebutan lain dari ada itu sendiri. Ketiadaan itu menunjuk kepada makhluk. Yakni, tidak ada secara hakiki atau tidak ada dengan dirinya sendiri. Sedangkan ada, itu hanya menunjuk kepada Allah Ta’ala sebagai ada yang mutlak, tidak menunjuk pada apa pun yang lain.
Ketika dinyatakan bahwa Syaikh Abu ‘Abdillah itu tidak melihat adanya kegelapan, itu artinya adalah bahwa beliau senantiasa menyaksikan hadiratNya sangat nyata pada segala sesuatu. Dengan demikian berarti bahwa di hadapan beliau tidak ada satu pun makhluk yang berfungsi sebagai tabir yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Allah Ta’ala.
Dengan demikian pula berarti bahwa di hadapan beliau tidak ada apa yang disebut sebagai kegelapan atau ketiadaan. Yang ada hanyalah cahaya atau wujud yang mutlak belaka. Di saat itu, apa yang disebut sebagai kebenaran hakiki itu tidak saja diimani, tapi sepenuhnya disaksikan. Karena apa yang dianggap sebagai jarak itu telah ditebus sepenuhnya. Itulah realisasi dari derajat kesucian batin.
Bagi sang sufi itu sendiri, untuk sampai kepada derajat kesucian batin, siapa pun mesti terus melatih diri dengan disiplin agar terbebaskan dari pengaruh kekelaman syahwat yang senantiasa memberontak untuk mendapatkan berbagai macam makanannya. “Sungguh, keterbebasannku dari pengaruh buruk syahwat lebih utama bagiku dibandingkan dengan aku masuk surga,” ungkap Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maghribi.
Secara ontologis, filosofi dari apa yang disampaikan oleh beliau itu menemukan konvergensi dengan kalimat yang pernah diungkapkan oleh Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib: “Andaikan aku diberi pilihan antara masuk masjid dan masuk surga, maka jelas akan kupilih masuk masjid saja. Karena surga itu merupakan jatahku dari sisi Allah Ta’ala, sedangkan masjid adalah jatah hadiratNya dari sisiku.”
Tentu yang dimaksud syahwat oleh beliau itu tidak menunjuk kepada seluruh keinginan yang ada di dalam diri kita, tapi murni tertuju pada aneka letupan hasrat pada segala sesuatu yang hanya akan menjadikan diri kita semakin berpaling, semakin lalai, dan semakin menjauh dari hadiratNya. Sehingga, na’udzu bilLah, kita akhirnya tertimbun oleh berbagai hal yang muspra dan bahkan hina di hadapan Allah Ta’ala.
Sang sufi, dengan ikhtiar dan karunia yang agung, telah steril dari halimun syahwat itu. Sehingga, dengan mudah bisa kita afirmasi ketika dituturkan di dalam sebuah kisah bahwa saat berada di atas Gunung Sinai, beliau berbicara tentang kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Sedemikian fokus dan dekatnya sehingga si hamba itu merasakan bahwa yang ada hanyalah dia dengan Tuhannya. Yang lain tidak ada.
Ketika menyatakan hal itu dan sekaligus merasakannya secara rohani, Gunung Sinai itu lalu bergetar dan retak-retak karena pengaruh kekuatan dan kedahsyatan rohani beliau. Sungguh, hal itu merupakan karunia yang sangat besar. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024