Syaikh Abu ‘Abdillah asy-Syirazi

Beliau adalah Muhammad bin al-Khafif bin Isfaksyad adh-Dhabi Abu ‘Abdillah. Beliau bermukim di Syiraz. Itulah sebabnya nama beliau dinisbatkan kepada asy-Syirazi. Sementara ibu beliau berada di Nisapur. Di kalangan para sufi sendiri, beliau dikenal dengan sebutan Syaikh al-Masyayikh.

Beliau pernah melihat Syaikh Ruwaim al-Baghdadi. Bersahabat dengan Syaikh al-Kattani, Syaikh Yusuf bin al-Husin ar-Razi, Syaikh Abu al-Husin al-Maliki, Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin, Syaikh Abu al-Husin ad-Darraj, Syaikh Thahir al-Maqdisi, Syaikh Abu ‘Amr ad-Dimasyqi dan lain sebagainya.

Beliau banyak sekali mendapatkan rezeki, baik secara material maupun utamanya secara spiritual, dengan banyak bergaul dengan para sufi itu. Beliau betul-betul menguasai dengan baik dua ilmu berikut ini: ilmu-ilmu lahiriah dan ilmu-ilmu hakikat. Beliau termasuk salah seorang murid dari Syaikh Abu Thalib al-Khazraji al-Baghdadi.

Menurut Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam, di zamannya tidak ada satu pun karangan di bidang tasawuf yang mendekati kualitasnya dengan karya beliau. Beliau memiliki sirah yang sangat indah, i’tiqad yang begitu nyata dan mengikuti Mazhab Imam Syafi’ie. Beliau wafat pada tahun 331 Hijriah.

Syaikh al-Islam juga mengatakan bahwa dirinya menghafal dari Syaikh Abu ‘Abdillah asy-Syirazi dua kalimat dalam bentuk dialog. Mereka bertanya kepada beliau tentang tasawuf. Beliau menjawab dengan sebuah ungkapan yang sungguh sangat tidak mudah untuk diungkapkan apa maksudnya.

“Tetap adanya wujud Allah Ta’ala ketika seseorang dalam kondisi lalai,” jawab beliau dengan santainya, seolah jawaban itu teramat mudah untuk dipahami dan dicerna. Padahal kalimat tersebut teramat sulit untuk bisa dirasakan sekaligus dialami. Kalau bukan karena pertolongan hadiratNya, tak mungkin seseorang bisa mengalami.

Ketika seseorang itu lalai terhadap Allah Ta’ala, sesungguhnya dia dalam kondisi tidak sadar terhadap wujudNya, digantikan oleh sesuatu yang menjadi fokusnya, walaupun apa yang menjadi fokusnya itu betul-betul tidak penting sama sekali secara hakiki. Di situlah sebenarnya letak ketertipuan itu.

Mereka bertanya lagi kepada beliau tentang Syaikh ‘Abdurrahim al-Isthahri, kenapa Syaikh ‘Abdurrahim itu sering memasuki padang pasir bersama anjing-anjing? Kenapa Syaikh ‘Abdurrahim itu selalu memakai pakaian orang-orang jahat? Perlu dipahami bahwa Syaikh ‘Abdurrahim adalah seorang sufi dari kalangan kaum Malamatiyyah.

Syaikh Abu ‘Abdillah asy-Syirazi memberikan jawaban bahwa dengan cara seperti itu sesuatu yang sangat berat yang ditanggung oleh beliau menjadi agak ringan. Apa yang sesungguhnya ditanggung oleh Syaikh ‘Abdurrahim? Kita tidak tahu pasti. Setidaknya saya pribadi. Tapi kemungkinan besar apa yang ditanggung oleh beliau itu tak lain adalah Allah Ta’ala.

Betapa sangat berat beban seseorang yang menanggung hadiratNya itu. Akan tetapi walaupun sangat berat, orang tersebut jauh lebih beruntung ketimbang siapa pun yang menyunggi seluruh kesenangan duniawi. Orang itu telah menjadi bagian dari para wali, bergabung dengan para rasul dan nabi. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!