Beliau adalah Ahmad bin Yahya al-Jala’. Berasal dari Baghdad. Tinggal di Ramallah dan di Damaskus. Beliau adalah murid dari Syaikh Abu Turab an-Nakhsyabi, Syaikh Dzun Nun al-Mishri dan bapaknya sendiri, Syaikh Yahya al-Jala’. Bersahabat dengan Syaikh Abu ‘Ubaid al-Busri di dalam suatu perjalanan.
Tentang salah satu karamah sang sufi, Syaikh Abu al-Khair at-Tinati bertutur bahwa beliau pernah menyaksikan Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Jala’ berjalan di angkasa di bawah awan. Beliau spontan berteriak: “Aku mengenalmu.” Sang sufi langsung merespons: “Kau tidak mengenalku.”
Komunikasi itu seperti sebuah dialog yang tidak nyambung. Yang satu bilang bahwa dirinya mengenal yang lain. Sementara yang lain itu menyatakan bahwa dia tidak mengenal dirinya. Yang mana sesungguhnya yang benar?
Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang juga dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam “membereskan” sebuah dialog jarak jauh yang terkesan tidak nyambung itu dengan menyatakan bahwa “Aku mengenalmu” tersebut murni berkonotasi personal. Sementara “Kau tidak mengenalku” berkaitan dengan kedudukan makrifat dan kemuliaan.
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa kedekatan secara personal dengan siapa pun tidaklah menjamin dan memastikan adanya kedekatan secara spiritual. Adanya kekerabatan dan hubungan darah sama sekali bukanlah jaminan bagi adanya kedekatan secara spiritual.
Di sini, seseorang yang dekat secara personal dengan seorang waliyullah sering kali tertipu: mungkin dia istrinya, mungkin dia anaknya, mungkin dia familinya, mungkin dia koleganya, atau siapa pun yang lain, dan dia telah merasa sedemikian dekat dengan sang wali, padahal secara spiritual di antara keduanya ada ribuan hijab yang menjadi pemisah.
Qur’an surat at-Tahrim ayat 10 memberikan iktibar yang begitu gamblang kepada kita semua bahwa seorang istri dari nabi sekalipun bisa membangkang terhadap risalah yang dibawakan oleh suaminya. Bahkan lebih jauh lagi, sang istri dengan terang-terangan meletakkan diri di antara barisan orang-orang kafir yang sengaja menabuh genderang perang dengan suaminya.
Istri Nabi Nuh yang bernama Wahilah berkata kepada kaum dari suaminya bahwa suaminya itu tidak lain adalah orang gila yang sama sekali tidak pantas didengarkan kata-katanya. Suaminya dianggap sebagai orang yang suka meracau. Dianggap sebagai orang yang sinting. Seluruh keterangannya tentang ajaran-ajaran Allah Ta’ala dianggap dusta belaka.
Demikian pula dengan istri dari Nabi Luth. Perempuan yang bernama Wa’ilah itu menunjukkan kepada orang-orang kalau suaminya sedang menerima tamu-tamu. Kalau tamu-tamu itu datang di malam hari, maka istri Nabi Luth itu menyalakan api. Sedang jika datang di siang hari, ia mengepulkan asap. Tujuannya adalah agar kaum Nabi Luth itu mencibir dan mengganggu para tamu tersebut.
Kurang apa kedua perempuan itu? Bukankah mereka berdua berada di rumah kenabian suami masing-masing? Kedekatan secara personal sama sekali tidak memastikan adanya kedekatan spiritual. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki hubungan kefamilian dengan Nabi Muhammad Saw, bisa sangat dekat secara spiritual dengan beliau, dengan mencontoh akhlaknya dan tulus mengikuti ajarannya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024