Beliau adalah Hamzah bin Muhammad Abu al-‘Abbas al-Harawi. Salah satu dari sufi terdepan di Herat, Afghanistan. Di samping dikenal sebagai seorang sufi yang agung dan dermawan, beliau juga merupakan orang suci yang terkabul doa-doanya.
Beliau bersahabat dengan Syaikh Ahmad bin Hanbal, salah satu pendiri madzhab di bidang fikih. Dan lantaran beliaulah, madzhab Hanbali menjadi tersebar di Herat. Beliau juga bersahabat dengan Syaikh Ibrahim Satnabih. Beliau wafat pada tahun 241 Hijriah.
Tidak diragukan lagi bahwa kedermawanan beliau pastilah merupakan pantulan yang sangat terang dari kedermawanan Nabi Muhammad Saw. Karena jelas bahwa di dalam kehidupan beliau, Sayyid al-Wujud Saw tidak lain adalah sumber dari segala kebaikan dan keterpujian beliau.
Dan ketika kita runut secara spiritual, akan menjadi nyata bagi kita bahwa kedermawanan itu adalah realisasi yang tidak terbantahkan mengalir dari salah satu nama Allah Ta’ala di antara al-Asma’ al-Husna. Yaitu, al-Jawwad yang berarti Tuhan Yang Maha Dermawan.
Itulah pangkalnya. Itulah pula ujungnya. Segala kebaikan yang, di dalamnya termasuk kedermawanan, berasal-usul secara mutlak dari hadirat-Nya, ditampung di dalam cahaya Kanjeng Rasul Saw, lalu mengalir kepada siapa pun yang memiliki kesiapan batin untuk merealisasikannya, termasuk kepada Syaikh Abu al-‘Abbas al-Harawi.
Ketika salah satu nama Allah Ta’ala diejawantahkan di dalam diri seseorang dengan sempurna sesuai dengan kapasitasnya, maka hal itu akan menarik nama hadirat-Nya yang lain untuk diejawantahkan pula. Demikian juga seterusnya. Seterusnya. Sehingga orang itu akhirnya murni menjadi pengejawantahan nama-nama Allah Ta’ala.
Ketika pada akhirnya kedirian yang sempit dan sumpek dari orang itu menjadi kalis karena digantikan oleh kehadiran nama-nama hadirat-Nya, maka dapat dipastikan bahwa dia akan menjadi orang agung. Hilang dia sebagai dirinya sendiri, yang ada adalah realisasi sejumlah nama dan sifat-Nya.
Sangat rasional kalau kemudian diungkapkan bahwa Syaikh Abu al-‘Abbas al-Harawi adalah seorang sufi yang tidak saja merupakan representasi dari orang suci dan agung, tapi juga merupakan representasi dari orang yang doa-doanya terkabul.
Bagaimana mungkin tidak? Bukankah ketika beliau berdoa serupa dengan permohonan Allah Ta’ala sendiri kepada diri-Nya? Bukankah sudah lenyap kedirian beliau yang kusam dan ringkih? Bukankah kedirian beliau sudah tergusur oleh eksistensi sejumlah nama dan sifat-Nya?
Antara yang memohon dan yang mengabulkan permohonan itu lahiriahnya terdiri dari dua entitas. Yaitu, Allah Ta’ala dan seorang hamba-Nya. Akan tetapi secara hakiki, substansinya adalah satu. Jadi, bagaimana mungkin doa-doa beliau tidak dikabulkan.
Untuk menjadi cemerlang di jalan rohani sebagaimana yang dialami oleh sang sufi, seseorang bukan terutama dikondisikan oleh sejumlah nasihat dan peringatan, tapi diproses oleh adanya khidmat yang tulus terhadap orang-orang terkasih di hadapan Allah Ta’ala, dari kalangan para wali dan sufi. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024