Beliau adalah Ahmad bin Yahya Abu al-‘Abbas asy-Syirazi. Beliau adalah guru rohani bagi Syaikh ‘Abdullah bin Khafif yang wafat di Syiraz, Persia, pada tahun 982 Masehi. Beliau pernah berkumpul dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Ruwaim al-Baghdadi, dan Syaikh Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari.
Tentang reputasi spiritual guru rohaninya itu, Syaikh ‘Abdullah bin Khafif memberikan testimoni dengan kalimat yang sangat meyakinkan: “Saya tidak pernah menyaksikan seorang pun yang menyelami dunia cinta Ilahi sehebat Syaikh Ahmad bin Yahya Abu al-‘Abbas asy-Syirazi.”
Memang, beliau sering kali mengalami mabuk Ilahi dengan sangat sempurna. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau beliau sering kali bermain-main dengan harimau-harimau ketika beliau berada di padang sahara. Di pandangan batin seseorang seperti beliau, tidak ada apa pun yang berbahaya di dunia ini selain Allah Ta’ala. Demikian pula sebaliknya, tidak ada yang bermanfaat selain hadirat-Nya.
Syaikh ‘Abdullah bin Khafif pernah menuturkan tentang pengalaman rohaninya bersama gurunya tersebut. “Pada suatu malam,” tuturnya dengan sangat mengesankan, “aku bersama dengan Syaikh Ahmad bin Yahya. Aku menggendong seorang bayi yang merupakan anak dari salah satu sahabat beliau.
Tiba-tiba si bayi menangis. Ingin pulang ke dekapan ibunya. Malam itu cuaca memang sangat dingin. Dingin sekali. Dengan segera, aku menyalakan api untuk mengurangi cuaca dingin agar tidak terlalu menusuk-nusuk hingga ke tulang sumsum.
Sementara Syaikh Ahmad bin Yahya pada malam itu sedang menikmati sema. Yaitu, sebuah orkestrasi musik rohani yang sederhana dan biasa didengarkan dan dinikmati oleh kaum sufi. Dengan sema itu, beliau memasuki waktu rohani yang sangat agung.
Si bayi itu tetap menangis, ingin pulang, memanggil ibunya. ‘Siapa yang mau mengantarkan bayi ini ke rumahnya?’ kata salah seorang di antara mereka. Tidak ada yang memberikan jawaban. Syaikh Ahmad bin Yahya lalu dengan cekatan mengambil dua bongkah bara api yang besar dengan tangan kosong.
Dua bongkah bara api itu dimasukkan ke dalam dua lengan bajunya untuk dijadikan obor penerangan dalam menyusuri jalan di malam yang kelam untuk mengantarkan si bayi ke rumahnya. ‘Berdiri,’ kata Syaikh Ahmad bin Yahya kepada si bayi itu. Aneh, si bayi langsung mengikuti perintah beliau.
Si bayi lalu pergi menuju ke rumahnya bersama Syaikh Ahmad bin Yahya. Orang-orang di situ menyaksikan cahaya dua bongkahan bara api yang menyembul dari balik baju beliau. Sungguh merupakan suatu pemandangan yang sangat menakjubkan.
Setelah si bayi sampai di rumahnya, Syaikh Ahmad bin Yahya kemudian melemparkan dua bongkahan bara api itu. Seketika lalu berubah menjadi arang. Dengan bersegera beliau lalu memasuki sebuah masjid. Bercengkerama dengan Tuhannya melalui shalat, raka’at demi raka’at, hingga adzan subuh berkumandang.
Betapa nikmat. Betapa lezat. Betapa tinggi derajat makrifat beliau di hadapan Allah Ta’ala. Pada saat yang bersamaan, betapa melimpah-ruah kasih-sayang beliau kepada sesama, termasuk terhadap si bayi yang menangis di malam yang dingin itu karena ingin pulang ke dekapan ibunya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Qasim al-Muqri - 11 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah Al-Muqri - 4 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maula - 27 September 2024