Syaikh Abu al-Hasan ad-Daynuri

Beliau adalah ‘Ali bin Muhammad bin Sahl Abu al-Hasan ash-Shaigh ad-Daynuri. Beliau termasuk salah satu sufi agung dari Dinavar, sebuah kota besar antara abad ke-7 dan abad ke-10 yang terletak di timur laut Kermanshah di Iran Barat. Reruntuhan kota tersebut sekarang terletak di Distrik Dinavar, di Kabupaten Sahneh, Provinsi Kermanshah, Iran.

Beliau bermukim di Mesir dan wafat di sana juga pada malam Sabtu pertengahan bulan Rajab tahun 331 Hijriah. Beliau adalah salah seorang guru rohani bagi Syaikh Abu al-Husin al-Qarafi, Syaikh ad-Duqi dan Syaikh Abu ‘Utsman al-Maghribi. Beliau merupakan salah satu murid dari Syaikh Abu Ja’far ash-Shaydalani.

Testimoni tentang kehebatan spiritual beliau setidaknya didedahkan oleh salah seorang muridnya, Syaikh Abu ‘Utsman al-Maghribi, sebagaimana berikut ini: “Aku tidak pernah menyaksikan seorang sufi yang lebih bercahaya dibandingkan Syaikh Abu Ya’qub an-Nahrajuri. Dan aku juga tidak pernah menyaksikan seorang sufi yang lebih berwibawa daripada Syaikh Abu al-Hasan ad-Daynuri.”

Kewibawaan rohani yang disandang oleh sang sufi dilatarbelakangi oleh adanya kemerdekaan beliau dari segala jebakan seluruh yang fana di dunia ini di satu sisi dan kebersandaran beliau secara mutlak dan habis-habisan kepada Allah Ta’ala di sisi yang lain.

Di dalam konsep asketisme yang senantiasa dipegang teguh oleh beliau, setiap salik yang sedang menempuh perjalanan spiritual kepada hadiratNya setidaknya mesti meninggalkan dunia ini dua kali. Pertama, membebaskan diri dari berbagai macam keinginan terhadap aneka ragam dimensi duniawi.

Kedua, ketika dengan sikap asketis itu mereka digandrungi oleh manusia, mereka mesti hati-hati menghadapi adanya kegandrungan itu dengan cara terjun lagi ke kancah kehidupan duniawi, bukan dalam rangka mengikat hati dengan berbagai kesenangan materi, tapi mutlak agar terhindar dari adanya rasa “mabuk” terhadap kegandrungan manusia tersebut. Sehingga “dosa” lantaran meninggalkan kesenangan-kesenangan duniawi menjadi tidak lebih besar dibandingkan dengan “dosa” karena terlibat di dalamnya.

Alasannya sangat konkret bahwa huru-hara dunia rohani yang disebabkan oleh adanya kecocokan dan kesenangan manusia kepada seorang salik jauh lebih dahsyat daripada huru-hara rohani yang diakibatkan oleh adanya keterlibatan si salik itu di tengah kehidupan duniawi.

Setelah seorang salik betul-betul terbebaskan dari dua macam huru-hara rohani tersebut, dia harus terus memperbaiki dan menjadikan indah panorama spiritualnya dengan cara memutuskan diri dari adanya relasi, seberapa pun kadarnya, dengan berbagai macam angan-angan yang selalu menjulur ke depan.

Sebab, membiarkan angan-angan terjuntai ke depan tidak lain merupakan bagian dari keberpihakan kepada nafsu yang kelam. Dan keberpihakan semacam itu adalah langkah-langkah yang hampir dapat dipastikan menuju kepada jurang kehinaan dan kehancuran, jauh dari kemuliaan dan keanggunan perilaku rohani.

Dan kita tahu bahwa Syaikh Abu al-Hasan ad-Daynuri telah lolos dari adanya dua macam huru-hara rohani itu, juga beliau telah lolos dari adanya jerat angan-angan yang sering kali menipu. Dengan karunia Allah Ta’ala, juga syafa’at Nabi Muhammad Saw, bukan terutama lantaran ikhtiar dan usahanya sendiri. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!