Syaikh Abu al-Hasan al-Urmawi

Beliau adalah persis sebagaimana judul di atas. Saya tidak menjumpai nama atau sebutan yang lain di kitab-kitab thabaqat yang lain, di kitab-kitab biografi para sufi. Dari mulai kitab Hilyah al-Awliya’ karya Abu Nu’aim al-Ashfihani sampai kitab ar-Risalah al-Qusyairiyah karya Imam Qusyairi.

Beliau termasuk di antara para sufi agung. Beliau hidup di antara hari-hari kehidupan Syaikh al-Hushri, Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari dan Syaikh Ibn al-Khafif. Beliau hidup dengan damai di Urmi, sebuah kota yang sangat besar di jaman dulu di negeri Adzribijan, dekat dengan Rusia sana. Kuburan beliau juga ada di sana.

Pada suatu hari, beliau pernah ditanya tentang apa itu sesungguhnya kesetiaan? Beliau memberikan jawaban yang sangat gamblang ketika beliau mengatakan bahwa kesetiaan adalah ketika seseorang keluar dari sesuatu maka dia tidak akan kembali lagi kepadanya. Sama sekali tidak.

Artinya adalah bahwa datang kepada sesuatu atau meninggalkannya betul-betul dikerjakan tidak secara setengah-setengah, tapi sungguh ditempuh dengan diri yang utuh. Secara lahir dan batin sekaligus. Sehingga dapat dipastikan bahwa tidak ada kata-kata menyesal setelah hal tersebut.

Akan tetapi bagi si penanya, jawaban tersebut tidaklah rampung. Sebab, hal itu tidak lain adalah untuk para pemula atau orang awam. Sedangkan untuk orang-orang istimewa secara spiritual ada jawaban tersendiri. Yaitu, untuk apa sesungguhnya kita datang ke dunia ini? Untuk apa? Tidak boleh tidak, kita mesti menemukan jawabannya.

Ketika kita telah menemukan jawaban yang valid untuk apa kita datang ke dunia ini, dapat dipastikan bahwa kita berarti telah bersinggungan dengan kesetiaan di dalam realitas yang konkret. Artinya adalah bahwa apa yang disebut sebagai kesetiaan itu bukanlah konsep semata, tapi betul-betul telah dialami.

Tentu saja sudah dapat dipastikan bahwa Allah Ta’ala menciptakan diri kita hanya karena iseng atau ketimbang tidak membikin apa pun. Tidak mungkin hal itu terjadi. Allah Maha Mengetahui. Dan apa atau siapa pun yang diciptakan oleh hadiratNya pastilah memiliki tujuan yang luhur, tak mungkin tidak.

Lantas, untuk apa kita diciptakan? Tidak lain untuk menggelar kesetiaan yang paling hakiki kepada Allah Ta’ala, melebihi kesetiaan kita kepada apa pun yang lain. Karena apa yang sesungguhnya disebut yang lain itu sebenarnya tidak pernah ada, juga tidak akan pernah ada, sama sekali.

Keberadaan mereka yang begitu konkret di dunia ini, sebagaimana juga keberadaan segala sesuatu yang lain, tak lebih hanyalah merupakan pantulan atau bayang-bayang dari kehendak hadiratNya. Selebihnya tidak ada apa pun yang lain. Karena yang ada di dunia ini, di akhirat nanti, atau di mana pun, tak lain adalah Allah Ta’ala dan realitas kehendak hadiratNya.

Dan mendekat kepada Allah Ta’ala melalui sejumlah peribadatan tidak lain adalah kesenangan itu sendiri. Walaupun tentu saja kita tidak bisa secara langsung merasa senang. Karena senang itu berlapis-lapis. Bahkan sampai tak terhitung jumlahnya. Dan di tahap-tahap awal, yang ada adalah ketidaksenangan. Kesetiaan yang bisa mengantarkan kita pada kesenangan itu. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!