Syaikh Abu Al-Hasan as-Suyuthi

Nama beliau persis sebagaimana judul di atas. Saya tidak mendapatkan referensi yang menyebutkan nama beliau yang lebih lengkap lagi. Saya juga tidak menemukan data yang mengabarkan tentang tempat dan tahun kelahiran beliau. Pun, berkaitan dengan di mana dan kapan beliau wafat.

Hanya ada secercah keterangan yang mengabarkan tentang masa kehidupan beliau. Yaitu, beliau sezaman dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi dan Syaikh Sahal bin ‘Abdillah at-Tustari yang wafat pada tahun 283 Hijriah di umurnya yang kedelapan puluh tahun.

Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang hatinya sedemikian kebak dengan belas kasih dan rasa sayang kepada makhluk-makhluk, utamanya kepada sesama manusia. Di mana pun beliau berada, yang senantiasa diutamakan oleh beliau dalam interaksi dengan sesama tidak lain adalah nilai-nilai kemanfaatan bagi mereka.

Dikisahkan oleh Syaikh Abu ‘Ali ar-Rudzabari sebagaimana termaktub di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami bahwa pada suatu hari Syaikh Abu al-Hasan as-Suyuthi, Syaikh Sahal bin ‘Abdillah at-Tustari dan para sufi yang lain berada di sebuah lembah di pedalaman yang jauh dari perkampungan.

Di sana, mereka semua didera oleh rasa lapar yang mencekam. Mereka tidak tahu jalan yang bisa mengarahkan mereka menuju ke suatu perkampungan. Di benak Syaikh Abu al-Hasan as-Suyuthi lalu muncul sebuah ide yang cemerlang. Yaitu, beliau bersuara dengan sangat kencang persis suara serigala.

Mendengarkan suara beliau yang menirukan lolongan serigala itu, anjing-anjing di kejauhan menimpali dengan gonggongan-gonggongan yang tidak kalah serunya. Dari situ kemudian sang sufi menarik kesimpulan bahwa di arah gonggongan anjing-anjing itu terdapat perkampungan.

Dengan penuh semangat dan ketulusan, sang sufi dengan sigap berangkat menuju ke perkampungan tersebut. Di sana, beliau membeli makanan sedapatnya untuk diberikan kepada teman-temannya dari kalangan para sufi yang sedang didera kelaparan di sebuah lembah yang jauh dari perkampungan.

Begitu kuat perhatian beliau kepada sesamanya. Begitu melimpah ruah belas kasih beliau kepada mereka. Dari mana datangnya perhatian yang tulus tanpa pamrih itu? Dari mana pula melubernya belas kasih yang tanpa harus ditagih itu?

Ketahuilah bahwa ketika hati seseorang telah bersih dari segala pamrih, telah terbebaskan dari hasrat terhadap dunia ini dan dunia yang akan datang, telah merdeka dari rasa tertarik kepada selain hadiratNya, maka dapat dipastikan bahwa hati seseorang itu tidak berisi apa pun selain samudra belas kasih dan atensi terhadap sesama makhluk.

Semakin akrab seseorang dengan Allah Ta’ala, pada saat yang bersamaan semakin jauh pula dia dari keterpukauan terhadap selain hadiratNya. Di saat itu, tumpah ruahnya belas kasih kepada segenap makhluk mutlak merupakan perpanjangan dari dimensi kemahaindahan Tuhan semesta alam yang sudah pasti absolut. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Comments

  1. SANTRI Reply

    Kami selalu mengharapkan kisah-kisah teladan terbaru lainnya, kyai.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!