Beliau adalah Sa’id bin al-Husin Abu al-Husin ad-Darraj, seorang sufi kelahiran Baghdad. Beliau wafat ketika menyimak dan menikmati orkestrasi musik kaum sufi pada tahun 320 Hijriah. Ada dua sufi lagi yang wafat bersamaan dengan wafat beliau di majelis musik rohani tersebut. Yaitu, Syaikh Abubakar ad-Dimasyqi dan Syaikh Abu ‘Imran al-Muzayyin ar-Razi.
Sangat mengagumkan. Mereka bertiga, para sufi terhormat itu, menempuh prosesi kematian dengan cara dan jalan yang sangat indah. Yaitu, dengan diiringi oleh kemerduan musik rohani yang sangat bernuansa transendental. Sebuah perjalanan dalam menempuh kematian yang dirindukan oleh kebanyakan kaum spiritualis.
Tentu saja peristiwa yang sedemikian sakral dan indah itu bukanlah merupakan hal yang kebetulan. Hampir dapat dipastikan bahwa jauh sebelum peristiwa kematian yang sangat “estetis” itu mereka telah membangun relasi yang begitu kukuh dengan dimensi jamaliyyah atau keindahan Ilahi.
Melalui pertalian yang kuat dengan dimensi keindahan Ilahi tersebut, sang sufi, Syaikh Abu al-Husin ad-Darraj, senantiasa mengalami getar-getar keindahan transendental di hadapan kemahaan Allah Ta’ala yang senantiasa dirasa mengepung keseluruhan sepak terjang kehidupannya.
Maka menjadi jelas bahwa tidak ada arah mana pun di dunia ini bagi beliau kecuali menjuntaikan dawai-dawai kemahaindahan hadiratNya. Itulah sebabnya hati beliau menjadi sangat begitu rawan ketika berhadapan dengan keindahan yang bahkan dianggap sangat sepele oleh orang kebanyakan.
Bagi beliau dan siapa pun yang telah mendapatkan anugerah yang berupa tajalli jamaliyyah hadiratNya itu, seluruh anasir di alam semesta ini tidak lain adalah jendela-jendela yang tersambung nyata dengan padang luas tak terhingga keanggunan Allah Ta’ala.
Dalam konteks pemahaman sekaligus pengalaman spiritual yang sangat lezat seperti itu, kiranya merupakan hal yang rasional ketika beliau menikmati musik sakral kaum sufi akhirnya sampai pada puncak hakikat keterpesonaan paling memukau yang mengantarkannya pada kematian.
Realitas rohani yang menguasai sang sufi kala itu tentu saja adalah realitas cinta Ilahi yang sedang membuncah dan bertakhta di puncak bukit eksistensi spiritualitasnya. Dan kiblat cinta sang sufi itu pastilah Tuhannya sendiri, bukan siapa pun yang lain. Degub-degub cinta itu telah mengantarkannya kepada Allah Ta’ala, meninggalkan segala yang fana dan kalis oleh perputaran masa.
Cakrawala cinta Ilahi yang bersemayam di dalam diri sang sufi itu menjadi terkukuhkan oleh adanya khidmat beliau yang sedemikian tulus terhadap seorang wali agung yang bernama Syaikh Ibrahim al-Khawwash. Sang wali agung ini, dari saking kuatnya kegandrungan yang bertakhta di puncak rohaninya kepada Allah Ta’ala, sampai-sampai beliau menolak ajakan Nabi Khidhir untuk menjadi kawannya. Alasan penolakannya pasti dan tegas. Yaitu, Allah Ta’ala Maha Pencemburu.
Dan berkhidmat kepada seorang kekasih hadiratNya, sungguh serupa berkhidmat kepada Allah Ta’ala itu sendiri. Tidak mungkin tidak mendapatkan kucuran barokah yang melimpah. Dan Syaikh Abu al-Husin ad-Darraj tidak lain merupakan contoh yang nyata. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Hasan al-Hamadzani - 13 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #3 - 6 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #2 - 29 November 2024