Beliau adalah ‘Ali bin ‘Utsman bin Nashr Abu al-Husin al-Qarafi. Qarafah yang dinisbatkan kepadanya merupakan salah satu desa di Mesir. Beliau merupakan salah satu murid dari Syaikh Abu al-Khair at-Tinati dan Syaikh Abu al-Hasan ash-Shaigh ad-Daynuri. Umurnya mencapai 100 tahun. Beliau wafat pada tahun 338 Hijriah.
Beliau adalah seorang sufi yang tidak berbicara sebagaimana sufi-sufi yang lain. Keseluruhan tentang diri beliau dibicarakan oleh sufi yang lain. Setidaknya lewat sebuah kitab yang menjadi rujukan utama saya di dalam penulisan biografi singkat para sufi. Yaitu, kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami.
Seorang sufi yang dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam, Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi, menyatakan bahwa Syaikh Abu al-Husin al-Qarafi adalah seorang sufi yang sempurna. Pada masanya, beliau merupakan satu-satunya sufi di dunia yang sedemikian total tawajjuhnya kepada Allah Ta’ala.
Tidak ada satu pun tandingan baginya. Penglihatannya begitu tajam. Sanggup menembus dada-dada umat manusia, menyaksikan isi hati mereka. Sering kali beliau menanggapi isi hati mereka dengan tepat. Fokusnya kepada hadiratNya sedemikian utuh. Tidak terbagi kepada segala sesuatu yang lain.
Beliau merupakan seorang sufi yang menguasai waktu seluruhnya. Dan seluruh waktu itu hanya untuk Allah Ta’ala semata. Sama sekali tidak untuk apa pun yang lain. Di hadapan orang-orang yang awam, beliau tampil dengan penuh keindahan. Di hadapan orang-orang yang istimewa, beliau adalah orang yang makrifat kepada hadiratNya.
Di kedalaman batinnya sendiri yang sangat kaya, beliau adalah seorang sufi yang sepenuhnya bertauhid kepada hadiratNya. Sedemikian cintanya beliau kepada Allah Ta’ala sampai-sampai beliau kehilangan dirinya sendiri. Artinya adalah bahwa betapa cinta beliau hanya tertuju kepada hadiratNya semata hingga tak ada yang untuk dirinya, tak ada.
Pernah pada suatu hari Syaikh Abu al-Husin al-Qarafi hendak bepergian. Beliau menaiki sebuah perahu bersama orang-orang. Atas dasar kebencian atau hendak menguji kedigdayaan beliau, mereka mengikat kedua tangan dan kakinya. Lalu, mereka melemparkan beliau ke lautan. Apa yang terjadi?
Setelah datang waktu shalat, mereka menepi dan datang pada sebuah masjid. Ternyata mereka menyaksikan beliau berdiri di shaf paling depan. Dan yang paling aneh terjadi. Apa itu? Sama sekali tidak ada yang basah sedikit pun dari pakaiannya. Seolah beliau tidak tersentuh oleh air. Padahal baru saja melemparnya ke lautan.
Itulah apa yang pernah dilontarkan oleh Syaikh al-Islam bahwa orang yang telah ditakdirkan hidup oleh Allah Ta’ala tidak mungkin ada seorang pun yang sanggup membunuhnya. Karena sesungguhnya dia hidup dengan roh yang lain, tidak sebagaimana kehidupan orang-orang kebanyakan.
Orang seperti itu jelas mati bagi dirinya sendiri dan hidup bagi Tuhannya. Itulah orang yang disebut fana sekaligus baqa. Fana bagi diri sendiri dan segala sesuatu yang parsial. Dan baqa bagi Tuhan semesta alam yang jelas universal. Hidupnya telah mencapai Tuhan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024