Beliau adalah al-Husin bin Ahmad Abu al-Husin as-Sallami. Penulis salah satu kitab sejarah dengan judul “At-Tarikh fi Akhbari Wulati Khurasan.” Beliau wafat pada tahun 300 Hijriah.
Selain sebagai sejarawan yang cukup andal, sudah dapat dipastikan bahwa beliau juga merupakan seorang sufi yang sangat kredibel. Bahkan seorang sufi yang mensamudra di bidang keilmuan tasawuf, Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang populer dengan sebutan Syaikh al-Islam, memberikan testimoni tentang Syaikh Abu al-Husin as-Sallami bahwa beliau merupakan seorang lelaki agung di dalam dunia rohani.
Beliau juga merupakan seorang penyair dengan berbagai karya puisi yang sangat mumpuni. Di antara bait puisi yang telah ditulisnya di cakrawala masa adalah sebagaimana berikut ini: “Perpisahan denganmu meninggalkan bara api di hatiku. Dan jadi sempitlah istanaku karenanya. Bagaimana mungkin hidupku tenteram tanpamu. Sementara engkau adalah akhir dan puncak tujuanku.”
Dalam konteks paradigma dan kepustakaan kaum sufi, “perpisahan denganmu” sebagaimana termaktub dalam puisi sang sufi di atas, mutlak menunjuk kepada jarak ontologis yang sangat panjang membentang antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dan hal itu tidak lain merupakan siksaan dan kegetiran yang teramat menyakitkan.
Itulah sebabnya kenapa sang sufi merasakan dirinya terpanggang oleh bara api lantaran perpisahan. Dan perpisahan yang dimaksud setidaknya mengindikasikan adanya dua hal. Pertama, menunjuk pada adanya awal keinsafan sang sufi bahwa tugas-tugas rohani ke depan bukanlah merupakan hal yang remeh, tapi betul-betul membutuhkan kesungguhan sekaligus ketulusan.
Kedua, menunjuk kepada orkestrasi kerinduan yang senantiasa menggema di dalam hatinya yang mendorong agar secepat mungkin sang sufi bisa “menyatu dan lebur” dengan hadirat-Nya. Karena jelas bahwa hanya dengan “kebersamaan” dengan Allah Ta’ala hidup sang sufi, juga siapa pun dengan frekuensi rohani yang sama, akan menjadi tenteram.
Bagi sang sufi sendiri, alasan utamanya sangat gamblang bahwa Tuhan semesta alam itu tidak lain adalah akhir sekaligus puncak tujuan hidupnya. Karena itu, pastilah Dia pula yang terpenting baginya, juga secara substansial bagi seluruh anasir alam raya. Walaupun belum tentu mereka menyadari hal tersebut.
Dalam konteks pemahaman terhadap sebait puisi di atas, sangat dimaklumi kalau kemudian sang sufi menekankan keseluruhan dari rangkaian hidupnya terhadap sebuah ayat di dalam Qur’an yang menyatakan: “Tidaklah ada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia yang keempatnya,” (QS. Al-Mujadalah: 7).
Kesadaran spiritual terhadap ayat tersebut telah menjadikan sang sufi senantiasa merasakan berlangsungnya kebersamaan di dalam episode demi episode hidupnya dengan Allah Ta’ala.
Menurut interpretasi Ibn ‘Arabi (1165-1240) terhadap ayat di atas, yang dimaksud “Dia yang keempatnya” sama sekali tidak menunjuk kepada adanya jumlah bilangan, tapi mutlak tertuju kepada ketidaksanggupan mereka dalam merasakan kebersamaan dengan hadirat-Nya lantaran mereka terhijab. Terhijab oleh apa? Tak lain oleh diri dan egoisme mereka sendiri. Bukan oleh apa atau siapa pun yang lain. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari - 20 September 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024