
Betapa banyak fenomena karamah yang telah disaksikan oleh Syaikh Abu al-Khair al-Aqtha’. Ada kalanya beliau menyaksikan orang yang berjalan di lautan. Ada kalanya pula beliau menyaksikan orang yang terbang di angkasa. Menakjubkankah hal tersebut bagi beliau? Adakah beliau menginginkannya?
Tidak, sama sekali tidak. Beliau sanggup melakukan hal yang demikian. Beliau bisa berlari di atas lautan, tapi beliau tidak melakukannya. Beliau bisa juga terbang di angkasa, tapi beliau sungguh tidak tertarik untuk melakukannya. Bahkan, bagi beliau sendiri, perbuatan semacam itu tidak lain merupakan tindakan “bid’ah” yang harus ditinggalkan.
Ketimbang terhadap hal-hal yang demikian, beliau lebih tertarik terhadap kesungguhan dan ketulusan dalam penghambaan kepada Allah Ta’ala, lebih tertarik kepada ibadah-ibadah yang dikerjakan secara benar di hadapan hadiratNya. Rasa tertarik beliau kepada Tuhan semesta alam melebihi segala sesuatu yang lain.
Syaikh al-Islam Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi menyatakan bahwa “penjual” karamah itu, jika dia diterima di tengah masyarakat, sesungguhnya dia sedang tertipu. Sedangkan pembeli karamah-karamah itu tidak lain adalah anjing walaupun dia sendiri tidak menggonggong.
Artinya adalah bahwa karamah-karamah itu sama sekali bukan hakikat. Karamah itu merupakan satu hal, sedangkan hakikat merupakan hal yang lain. Karamah itu membuat takjub para asketis dan para wali badal. Sementara seorang sufi yang makrifat jauh lebih utama dibandingkan karamah-karamah itu. Bahkan dia merupakan puncak dari seluruh karamah tersebut.
Yakni, seorang sufi yang makrifat tidak bisa ditukar dengan apa pun. Di hadapan orang yang hanya memiliki satu tujuan di dalam kehidupannya, yaitu Allah Ta’ala, segala sesuatu yang didapatkan berkaitan dengan hadiratNya, tidak mungkin ditukar dengan segala sesuatu yang lain.
Syaikh Abu al-Khair al-Aqtha’ pernah menyatakan kepada Syaikh ‘Abbas bin Muhammad al-Khalal di Merv: “Wahai ‘Abbas, kau menjahit bajumu yang bolong di ketiakmu? Kau tinggal di mana?” Yang ditanya menjawab bahwa beliau tinggal di Tharosus dan Baitul Maqdis. “Kenapa kau tidak tinggal di Hirat? Kenapa kau tidak menghadapkan diri ke sana?”
Menurut Syaikh al-Islam, yang dimaksud dengan pertanyaan itu adalah “di manakah engkau ‘uzlah?” Yakni, membebaskan diri dari adanya berbagai macam pengaruh makhluk yang sama sekali tidak penting di dalam perspektif tasawuf. Dan ketika seorang sufi sudah sanggup melakukan ‘uzlah dalam pemahamannya yang hakiki, maka tugas berikutnya adalah berbaur dengan kehidupan sosial.
Di dalam pemahamannya yang lebih sublim, ‘uzlah adalah ketika seseorang sudah mengalami tiada, sepenuhnya tiada. Sebab, yang ada baginya hanya satu, yaitu Allah Ta’ala. Sedangkan dia dan segala sesuatu yang lain di seluruh alam raya tak lain hanyalah merupakan bongkahan-bongkahan ketiadaan.
Di saat itu dan pada saat-saat berikutnya, dia akan senantiasa digunakan oleh Allah Ta’ala untuk berbagai macam tugas di dalam kehidupan. Dia sudah bebas dari aneka ragam egoisme yang kelam di dalam dirinya. Dia sudah merdeka dari apa pun yang selain hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Nashr as-Sarraj - 14 March 2025
- Syaikh Bab al-Farghani - 7 March 2025
- Syaikh Abu Hamid al-Muhib - 28 February 2025
Galih
Bagus