Syaikh Abu al-Khair al-Aqtha’

Beliau adalah seorang budak yang tinggal di desa Tinat, sebuah desa yang jaraknya dengan Mesir sekitar sepuluh farsakh. Beliau bernama ‘Ubbad. Beliau senantiasa sibuk dengan keranjang. Seolah keranjang itu merupakan tasbih yang selalu dipakai untuk berdzikir.

Tidak ada seorang pun yang tahu kenapa beliau itu sering kali sibuk dengan keranjang. Selalu saja keranjang itu ada di dekatnya. Dipegang atau dibolak-balik. Atau entah diapain lagi. Yang penting, kesibukannya itu ketika sudah tidak melayani umat tidak lain adalah keranjang.

Beliau adalah “ibu” bagi kebanyakan orang di zamannya. Berbagai macam persoalan dan keluh-kesah yang datang dari berbagai penjuru ditumpahkan kepada beliau. Dan dengan sabar dan telaten beliau mengurainya satu demi satu demi kemanfaatan bagi umat manusia. Beliau wafat setelah tahun tiga ratus empat puluh Hijriah.

Sering kali orang-orang datang kepada beliau dengan membawa persoalan masing-masing, sebelum disampaikan kepada beliau, beliau ternyata sudah tahu terlebih dahulu. Beliau menyelesaikan persoalan-persoalan itu dengan penuh kasih-sayang. Itulah sebabnya kenapa beliau dianugerahi karamah yang sangat banyak, juga bukti keagungan Allah Ta’ala yang nyata.

Beliau bersahabat dengan Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Jala’, dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan lain sebagainya. Beliau melintasi kehidupan ini dengan tawakkal yang murni. Yaitu, mutlak menyerahkan segala apa pun yang dibutuhkan kepada Allah Ta’ala dengan tanpa berikhtiar terlebih dahulu.

Syaikh Abu al-Khair al-Aqtha’ pernah menyatakan bahwa barang siapa menampakkan amal perbuatannya, maka dia akan mudah diserimpung oleh riya’ alias pamer. Barang siapa menampakkan kondisi rohaninya, maka dia akan mudah diserimpung oleh pengakuan kosong.

Artinya adalah bahwa apa yang kita kerjakan itu mesti hanya memiliki satu fokus, yaitu Allah Ta’ala, bukan apa atau siapa pun yang lain. Sebab, ketika sudah menyentuh apa atau siapa pun yang lain, pada saat itulah rohani kita akan menjadi sangat mudah untuk kalah. Tidak akan tangguh sebagaimana rohani para nabi dan wali.

Demikian pula kondisi rohani kita. Ketika kita gemar mengeksposnya kepada publik, maka kita akan menjadi terjebak pada pengakuan-pengakuan kosong. Itulah bukti bahwa kita sebenarnya di kala itu bukanlah apa-apa, juga bukan siapa-siapa. Betapa pengakuan itu sering kali tampil sebagai kesenangan yang menipu.

Pernah pada suatu hari beliau berada di pinggir pantai. Beliau menyaksikan seseorang yang berjalan di lautan. Dengan tegas beliau berkata kepada orang itu: “Perbuatan bid’ah macam apa ini? Ayo ke daratan. Kita berjalan di atas bumi.” Artinya adalah bahwa kedekatan dengan Allah Ta’ala itu tidak sama dengan kesanggupan berjalan di atas air. Sama sekali tidak.

Demikian juga ketika beliau melihat seseorang terbang di angkasa. Beliau menjerit kepadanya: “Turun dan berjalanlah. Bid’ah macam apa ini? Mau ke mana kau?” Orang itu menjawab bahwa dia akan pergi ke Makkah. “Sekarang, silakan kau berjalan,” ungkap beliau dengan penuh tulus.

Manusia dengan segenap keterbatasannya sungguh merupakan ciptaan yang luar biasa. Makhluk rohani yang begitu lemah tapi dianugerahi kelebihan yang sedemikian cemerlang. Bisa begitu dekat dengan Allah Ta’ala. Bahkan bisa berkomunikasi dengan hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!