Syaikh Abu al-Qasim al-Qashri

Beliau adalah salah seorang pembesar di antara para sahabat Syaikh Junaid al-Baghdadi. Hanya itu yang saya ketahui tentang beografi beliau. Selebihnya saya tidak tahu. Bahkan di dalam kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami yang merupakan kitab paling pokok sebagai referensi di dalam penulisan esai-esai para sufi, hanya itu yang didedahkan.

Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif pernah menuturkan bahwa pada suatu hari Syaikh Abu al-Qasim al-Qashri bilang kepadanya untuk diantarkan ke padang sahara. Maka, beliau pergi untuk mengantarkannya. Di dalam perjalanan itu, mereka berdua sampai pada suatu tempat yang di situ ada “Ribath” atau tempat peristirahatan para sufi.

Di Ribath itu, mereka berdua berjumpa dengan orang-orang yang sedang bermain dadu. Syaikh Abu al-Qasim al-Qashri ikut bermain dadu bersama mereka. Menjadi bagian dari mereka. Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif merasa malu tak terkira. Dari saking malunya, sampai kondisi fisik beliau berubah.

Di dalam perjalanan pulang, mereka berdua berjumpa dengan orang-orang yang sedang bermain catur. Berubah lagi kondisi fisik Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif. Beliau mengambil papan catur itu. Memecahkannya menjadi kecil-kecil. Rupanya beliau marah menyaksikan orang-orang bermain catur. Karena bagi sufisme rohani beliau, mereka hanyalah membuang waktu.

Menghadapi kenyataan seperti itu, mereka menghunus pisau-pisau besar. Syaikh Abu al-Qasim al-Qashri kemudian bilang kepada mereka: “Berikanlah kepadaku pisau-pisau besar itu, akan kumakan semua.” Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif menjadi sangat takjub kepada Syaikh Abu al-Qasim al-Qashri. Bagaimana mungkin beliau memiliki keberanian seperti itu.

Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif lalu bertanya kepada Syaikh Abu al-Qasim al-Qashri tentang hal itu. Beliau kemudian menjawab bahwa kalau beliau menggunakan pandangannya dengan pandangan ladunni, maka seperti itulah efeknya. Tapi jika tidak menggunakan pandangannya secara ladunni, maka “biasalah” akibatnya.

Permintaan untuk diantarkan ke padang sahara merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh para sufi terdahulu. Hal itu dilakukan oleh mereka untuk “mengukur” ketakterhinggan Tuhan semesta alam. Sehingga dengan demikian, ketakjuban mereka kepada hadiratNya semakin menjadi-jadi.

Bagi kebanyakan para sufi, menyaksikan alam ciptaan, apalagi yang sangat luas sebagaimana padang sahara, tidak lain adalah menyaksikan Penciptanya yang tidak dibatasi oleh limit dan tepi. Di penglihatan mereka, semua makhluk yang di langit dan di bumi, semuanya menjadi transparan. Yang tampak di balik semuanya itu adalah Allah Ta’ala.

Bahkan bagi kebanyakan mereka, yang terjadi justru kebalikan dari apa yang telah disaksikan oleh banyak orang. Kalau di hadapan banyak orang, alam semesta ini begitu gamblang dan nyata. Sementara Allah Ta’ala sangat samar dan gaib. Bagi para sufi, yang terjadi justru sebaliknya: Allah Ta’ala itu sangat gamblang dan nyata. Justru alam semesta ini yang sangat samar dan gaib.

Betapa beruntung mereka yang telah gamblang merasakan dan menyaksikan Allah Ta’ala. Dan keberuntungan seperti itu tidak mungkin ditukar oleh mereka dengan jenis keberuntungan yang lain. Kenapa? Karena kehilangan apa pun yang selain Allah Ta’ala pasti bisa dicari gantinya. Sementara “kehilangan” hadiratNya tak mungkin bisa ditemukan gantiNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!