Syaikh Abu ‘Ali ar-Rudzbari #1

Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin al-Qasim bin Manshur Abu ‘Ali ar-Rudzbari. Salah satu keturunan dari seorang menteri di sebuah “kerajaan” Persia dan nasabnya tersambung dengan seorang raja dengan gelar Kisra.

Meskipun kelahiran Baghdad, tapi beliau tinggal dan wafat di Mesir. Beliau bersahabat dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Ahmad an-Nuri, Syaikh Abu Hamzah al-Baghdadi, Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Jala’ dan para sufi yang lain di waktu itu. Beliau wafat pada tahun 321 Hijriah.

Semula beliau adalah orang biasa. Merupakan bagian dari orang kebanyakan yang tidak memiliki semangat apa pun terhadap dunia tasawuf. Pada suatu hari, Syaikh Junaid al-Baghdadi berbicara tasawuf dengan orang-orang di masjid agung. Ketika ada seseorang yang mendekat kepada Syaikh Junaid, poros berbagai tarekat itu bilang kepada orang tersebut: “Tolong dengarkan ini ya.”

Syaikh Abu ‘Ali ar-Rudzbari mengira bahwa Syaikh Junaid itu berbicara kepada dirinya. Beliau mendengarkan dengan sepenuh hati. Tanpa dinyana bahwa pencerahan dari Syaikh Junaid itu menggores hati Syaikh Abu ‘Ali ar-Rudzbari. Setelah peristiwa sakral itu, beliau menyedekahkan semua yang dimilikinya. Dan dengan gemetar kemudian beliau memasuki dunia tasawuf.

Beberapa tahun setelah itu, beliau dikenal sebagai orang yang ahli di bidang hadis, ahli di bidang fikih, ahli di bidang sastra, sebagai orang yang alim, panutan kaum sufi sekaligus tuan bagi mereka. Beliau tidak lain adalah paman bagi Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari.

Sebagai seorang sufi penyair, beliau dengan gagah mengucapkan sebait puisi berikut ini: “Demi kebenaranMu, aku tidak akan memandang kepada selainMu dengan pandangan cinta hingga aku menyaksikanMu.” Setelah dianugerahi kesanggupan untuk menyaksikan Allah Ta’ala, adakah beliau tertarik melihat yang lain?

Tidak mungkin. Kenapa? Karena setiap orang yang telah melihat hadiratNya, pastilah memandang segala yang lain itu sebagai tiada. Dan tertarik kepada yang tiada adalah hal yang mustahil yang tidak mungkin dialami oleh siapa pun. Karena jelas bahwa Allah Ta’ala itu merupakan asal-usul dari segala kenikmatan, asal-usul dari segala keindahan, asal-usul dari segala sesuatu yang lain.

Keberanian untuk tidak memandang yang lain adalah keberanian yang paling tauhidi, keberanian yang paling runcing, keberanian yang paling fokus kepada hadiratNya. Siapa pun orang yang telah mengalaminya, berarti dia telah selamat dari cengkeraman keanekaragaman, merdeka dari segala kesia-siaan.

Itulah sebabnya, Syaikh Abu ‘Ali bin al-Katib menyebutkan dengan tegas bahwa beliau tidak pernah menyaksikan orang yang lebih mumpuni di bidang ilmu syari’at dan ilmu hakikat yang melebihi kehebatan Syaikh Abu ‘Ali ar-Rudzbari. Itulah pula sebabnya kenapa beliau meletakkan “Sayyiduna” di depan nama orang yang dikaguminya itu.

Para santri Syaikh Abu ‘Ali ar-Rudzbari merasa cemburu dengan sebutan “Sayyiduna” itu. Mereka bertanya kepada Syaikh Abu ‘Ali bin al-Katib: “Kenapa engkau memanggil guruku demikian?” Yang ditanya menjawab: “Beliau datang dari Syari’at menuju Tarekat dan Hakikat. Sedangkan aku datang dari Hakikat menuju Syari’at.”

Yang pertama disebut sebagai taraqqi atau pendakian. Sementara yang kedua disebut tanazul atau turun. Yang pertama bisa membimbing para santri dengan seksama karena tahu persis berbagai macam rintangan dan cara mengatasinya. Sementara yang kedua tidak memiliki kemampuan itu. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!