
Beliau adalah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Seorang imam dan panutan umat di Nisapur. Beliau merupakan orang alim di berbagai ilmu syari’at. Semua ilmu yang dimilikinya itu kemudian ditinggalkan, lalu beliau pindah menekuni ilmu-ilmu tasawuf.
Sampai-sampai seseorang yang dikenal mensamudra di bidang ilmu tasawuf, Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri, menyanjung beliau dengan sebutan yang baik. Beliau sempat menyaksikan Syaikh Abu Hafs al-Haddad dan Syaikh Hamdun al-Qashshar. Beliau wafat pada tahun 328 Hijriah.
Beliau tentu saja begitu mahir berbicara tentang berbagai aib rohani yang sering kali menimpa umat manusia, terutama juga yang menimpa dirinya sendiri. Hal itu pastilah sangat penting. Sebab, sebelum berbicara tentang perolehan spiritual, siapa pun mesti memahami tentang kekurangan dimensi rohaninya sendiri.
Baru setelah itu beliau berbicara tentang kemegahan dan keindahan spiritual yang memang sungguh nyata. “Ilmu tentang Allah,” ungkap Syaikh Abu ‘Ali ats-Tsaqafi, “adalah keselamatan hati dari kebodohan. Juga merupakan keselamatan pandangan dari kegelapan.”
Baik keselamatan hati maupun keselamatan pandangan, keduanya sama-sama penting. Dengan keselamatan hati dari berbagai penyakit yang siap menggerogoti seperti riya’ dan sum’ah, seseorang berarti terhindar dari berbagai malapetaka, baik di dunia ini maupun terutama di akhirat nanti.
Dengan adanya keselamatan pandangan dari segala sesuatu yang siap membiusnya, seseorang bisa mendapatkan dua keberuntungan sekaligus: terhindar dari berbagai bahaya rohani sekaligus mendapatkan keindahan yang paling menawan. Yaitu, menyaksikan aneka ragam keindahan Allah Ta’ala pada segala sesuatu.
Termasuk keselamatan hati adalah kesediaan hati itu untuk semata-mata menampung Allah Ta’ala, tidak menampung segala sesuatu yang lain, betapa pun apa yang disebut sebagai yang lain itu menggiurkan. Dan segala sesuatu yang lain itu sesungguhnya tidak ada, mutlak tiada. Itulah sebabnya, kenapa ia tidak boleh mendominasi hati kita.
Dan tanda bahwa pandangan kita itu selamat adalah ketika kita telah didominasi oleh keesaan di tengah “keanekaragaman”. Yang aneka ragam itu menjadi lenyap. Yang ada adalah kemahaesaan hadiratNya belaka. Dan pada segala yang aneka ragam, pandangan kita menjadi tembus. Yang kita gapai dengan pandangan itu adalah kemahaesaan Allah Ta’ala.
Sungguh, sangat tidak mudah untuk sampai pada kedudukan rohani yang sangat mumpuni itu di mana kemahaesaan hadiratNya telah menjadi bingkai sekaligus substansi bagi penglihatan kita. Yang beraneka ragam telah dibingkai oleh kamahaesaan sehingga di pandangan kita Allah Ta’ala sangat kaya raya, bahkan tidak terbatas kekayaan hadiratNya itu.
Akan tetapi ketika Allah Ta’ala berkehendak, sesuatu yang semula tidak mudah dan bahkan terasa mustahil, itu akan berubah menjadi begitu mudah. Di saat itu, kita akan betul-betul merasakan bahwa sesungguhnya kita semata dijalankan sekaligus dipakai untuk bersembah sujud kepada hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Nashr as-Sarraj - 14 March 2025
- Syaikh Bab al-Farghani - 7 March 2025
- Syaikh Abu Hamid al-Muhib - 28 February 2025