Syaikh Abu ‘Amr ad-Dimasyqi

Beliau adalah sebagaimana judul di atas, persis. Beliau adalah orang agung di antara para sufi yang lain pada masanya di Syiria. Beliau adalah puncak pendakian tangga rohani dibandingkan para salik yang lain. Beliau bersahabat dengan Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Jala’, juga dengan para murid dari Syaikh Dzun-Nun al-Mishri. Beliau wafat pada tahun 320 Hijriah.

Syaikh Abu ‘Amr ad-Dimasyqi menyatakan bahwa tasawuf tidak lain adalah memandang alam semesta dengan penuh kekurangan. Dan sangat penting untuk selalu memejamkan mata terhadap segala sesuatu yang penuh dengan kekurangan. Sementara pada saat yang bersamaan tertegun dalam menyaksikan Tuhan Yang Mahasuci dari berbagai kekurangan.

Di dalam pandangan dan kosmologi kaum sufi, tentu saja kalimat Syaikh Abu ‘Amr ad-Dimasyqi itu sudah bisa ditebak arahnya. Yaitu, bukan dalam rangka meremehkan karya Allah Ta’ala yang berupa alam semesta ketika kita mesti memandangnya dengan penuh kekurangan. Tapi setidaknya karena dilatarbelakangi oleh adanya dua hal.

Pertama, nasib kefanaan yang menyelimuti alam semesta. Secara fisikal, tidak ada apa pun yang abadi di dunia ini. Semuanya temporal. Dibatasi, dilumat, dan dimusnahkan oleh perguliran waktu. Apa yang dulu ada, sekarang tidak ada lagi. Apa yang dulu tidak ada, sekarang telah ada.

Betapa sangat cepat waktu menggelinding. Menciptakan ekses sekaligus efek yang penuh dengan kenangan manis, kebak juga dengan kenangan getir. Penuh dengan gelak tawa dan genangan air mata. Semuanya memenuhi dan menyelimuti altar hari-hari di tengah berlangsungnya kehidupan umat manusia.

Kedua, alam semesta wajib dipandang sebagai himpunan ciptaan yang penuh dengan berbagai kekurangan sebagaimana apa adanya. Tujuannya jelas. Yakni, agar kita tidak tertarik kepadanya. Walaupun alam semesta ini tak lain merupakan bayang-bayang Tuhan, ia diciptakan bukan agar kita berhasrat terhadapnya, tapi agar kita menjadikannya sebagai sarana semata untuk melesat secara spiritual menuju kepada hadiratNya.

Karena itu, tidak boleh tidak, jatuh cinta kepada Allah Ta’ala seharusnya mengalahkan seluruh hasrat kita kepada apa atau siapa saja yang selain hadiratNya. Kemahaan Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan segala atribut yang nisbi yang keberadaannya mutlak bergantung kepada hadiratNya. Sama sekali tidak bisa berdiri sendiri.

Dan kalau di dalam kehidupan ini kita termasuk orang-orang yang gampang tertarik terhadap pernak-pernik segala yang bersifat duniawi atau artifisial belaka, maka sudah semestinya kita memejamkan mata agar tidak terbius terhadap aneka ragam godaan tersebut. Apa pun yang selain Allah Ta’ala sesungguhnya tidak menarik, tapi nafsu yang kelam menjadikannya seolah menarik sehingga banyak orang yang terperosok ke dalamnya.

Tidak sebagaimana kebanyakan para wali yang lain yang mengejawantahkan sejumlah karamah di dalam kehidupan mereka, Syaikh Abu ‘Amr ad-Dimasyqi yang senantiasa terpukau kepada Allah Ta’ala dan sangat memungkinkan untuk mengejawantahkan berbagai macam karamah, beliau tetap tidak memperlihatkan adanya karamah itu pada dirinya selain yang berupa istiqamah.

Dengan tegas beliau mengatakan: “Sebagaimana merupakan suatu kepastian bagi para nabi untuk mengejawantahkan berbagai macam mukjizat dan ayat-ayat Ilahi, sebaliknya merupakan suatu kepastian bagi para wali untuk menyembunyikan berbagai karamah yang ada pada diri mereka sehingga umat tidak gaduh karenanya.” Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!