
Beliau adalah Muhammad bin Ibrahim Abu ‘Amr az-Zujaji. Beliau berasal dari Nisapur. Bersahabat dengan Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri, Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Ruwaim al-Baghdadi, Syaikh Ibrahim al-Khawwash dan lain sebagainya. Beliau wafat pada tahun 348 Hijriah.
Selama waktu empat puluh tahun, beliau tinggal di kota Makkah, selama itu pula beliau tidak pernah kencing di Tanah Haram, tidak pernah membuang rambutnya di Tanah Haram, tidak pernah membuang sampah di Tanah Haram. Hal itu beliau lakukan tidak lain karena penghormatan beliau kepada Allah Ta’ala. Beliau melaksanakan ibadah haji hampir enam puluh kali.
Tentang keberadaan beliau di Makkah, Syaikh Abu ‘Amr bin Najid pernah menuturkan kisah sebagaimana berikut ini. “Pada suatu waktu,” tuturnya dengan nada serius, “aku berada di Makkah. Sedangkan para sufi yang lain seperti Syaikh Abubakar al-Kattani, Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin al-Shaghir dan kakaknya, serta para sufi yang lain, membentuk sebuah lingkaran.
Sementara Syaikh Abu ‘Amr az-Zujaji merupakan orang terdepan di antara mereka. Setiap kata-katanya menjadi ketentuan. Dan berbagai macam urusan diserahkan oleh mereka kepada beliau. Beliau sering kali mengatakan: ‘Aku sudah tiga puluh tahun membersihkan jeding Syaikh Junaid al-Baghdadi dengan tanganku ini.’ Dan beliau mengatakan hal tersebut dengan penuh bangga.”
Apa artinya kalimat beliau itu? Kebanggaan diri dengan melaksanakan suatu perbuatan yang emoh dilakukan oleh orang kebanyakan adalah sebuah bukti dari adanya suatu perbuatan yang terpuji. Ketika seorang sufi sudah senang melakukan hal yang seperti itu, beliau berarti sudah sukses mendidik dirinya sendiri.
Di dalam kehidupan sosial, bukankah para sufi itu adalah orang-orang yang memiliki harga diri? Ya, memang demikian. Akan tetapi ketika ada seorang sufi di antara mereka yang “menceburkan diri” di dalam sebuah perbuatan yang tidak lazim, yang dijauhi banyak orang, tentu saja sufi itu memang merupakan pilihan Tuhan.
Sementara di sisi yang lain, apa yang dilakukan oleh Syaikh Abu ‘Amr az-Zujaji itu berkaitan dengan adanya pengabdian kepada seorang sufi agung yang lain. Yaitu, Syaikh Junaid al-Baghdadi yang reputasi spiritualitasnya sudah sangat tangguh. Itulah kerja spiritual yang sanggup menghubungkan seseorang dengan Tuhan semesta alam.
Dalam konteks ini, Syaikh Junaid al-Baghdadi bisa kita pahami sebagai pintu yang memungkinkan Syaikh Abu ‘Amr az-Zujaji “berjumpa” dengan Tuhan lewat sebuah pengabdian yang tulus kepada hadiratNya. Dan ketika pengabdian itu sudah dirasa sangat menyenangkan baginya, tentu kita bisa memastikan bahwa pekerjaan itu tidak lain adalah karunia besar dari Allah Ta’ala.
Di sini kita semua paham bahwa ada kalanya seseorang dipakai oleh hadiratNya untuk menjadikan orang lain agar bisa sampai kepada asal-usulnya sendiri, yaitu Allah Ta’ala. Walaupun tentu saja sangat mungkin bagi diriNya untuk menarik si sufi itu secara langsung agar mendekat kepadaNya.
Dalam konteks ini, sah bagi Allah Ta’ala untuk menarik siapa pun secara langsung kepada diriNya, dan sah pula untuk menjadikan siapa pun sebagai perantara. Yang ditarik secara langsung adalah para wali majdzub, sedangkan yang lewat jalan perantara adalah kebanyakan kita semua. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Nashr as-Sarraj - 14 March 2025
- Syaikh Bab al-Farghani - 7 March 2025
- Syaikh Abu Hamid al-Muhib - 28 February 2025