Beliau adalah Isma’il bin Nujid bin Ahmad Abu ‘Amr as-Sulami, kakek dari Syaikh Abi ‘Abdurrahman as-Sulami dari jalur ibu. Beliau termasuk para pembesar dari sahabat-sahabat Syaikh ‘Utsman al-Hiri. Beliau adalah seorang sufi yang terakhir wafat dari kalangan mereka. Yaitu, pada tahun 365 Hijriah.
Beliau termasuk salah seorang sufi yang pernah menyaksikan Syaikh Junaid al-Baghdadi, sebuah kebanggaan melihat sufi agung yang menjuntai di lantai sejarah. Ibarat melihat sekarung emas, bahkan lebih dari hal itu, dan berhak untuk mendapatkannya. Hal yang demikian jelas merupakan kelebihan tersendiri dibanding yang tak menyaksikan beliau.
Di zamannya, Syaikh Abu ‘Amr bin Nujid merupakan seorang sufi yang sangat agung. Beliau memiliki thariqah tersendiri di dalam menjaga waktu sehingga tidak ada setitik waktu pun yang terpakai untuk sesuatu yang sia-sia atau bahkan mungkar. Seluruh waktu beliau terpakai untuk Allah Ta’ala dan Rasulullah Saw.
Beliau juga merupakan seorang sufi yang sangat pandai di dalam menggunakan kondisi rohaninya. Sehingga bisa dikatakan bahwa di dalam setiap keadaan, beliau senantiasa cemerlang dalam merealisasikan substansi dari sekian spiritualitas yang dikandungnya. Hari-harinya adalah hari-hari keindahan semata.
Syaikh Abu ‘Amr bin Nujid adalah seorang sufi yang sangat dipercaya di dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Begitu banyak beliau meriwayatkan hadis. Bukan terutama untuk mengumpulkan banyak ilmu tentang Nabi Pilihan itu, tapi mutlak untuk memperoleh keberkahan sebanyak mungkin.
Beliau juga adalah seorang sufi yang sangat dermawan. Pernah pada suatu hari Syaikh Abu ‘Utsman meminta uang atau apa pun untuk ketangguhan umat Islam di dalam peperangan, beliau tidak mendapatkan sama sekali. Hati beliau lantas menjadi gundah karenanya. Beliau betul-betul kepikiran tentang nasib umat Islam itu. Beliau menangis di majelis.
Ketika malam tiba, Syaikh Abu ‘Amr bin Nujid datang dengan membawa dua ribu dirham, uang yang tidak pernah disangka sedemikian banyak datangnya. Beliau dengan tegas mengatakan: “Silakan belanjakan uang-uang ini sesuai dengan kemauan dan kehendakmu.” Sebuah kenyataan yang telah menemukan penggarapannya.
Lenyap kegundahan Syaikh Abu ‘Utsman, digantikan kegembiraan yang luar biasa. Pagi tiba. Syaikh Abu ‘Utsman berdiri di sebuah majelis, berterima kasih dan mendoakan Syaikh Abu ‘Amr bin Nujid dengan sejumlah kebaikan karena telah memberikan dua ribu dirham kepada beliau.
Beliau dengan tegas menyatakan bahwa orang yang nafsunya telah menjadi mulia oleh Islam yang dianutnya, maka dapat dipastikan bahwa agamanya itu akan dirasa sangat mudah untuk direalisasikan. Bahkan agamanya itu menjadi yang terdepan di dalam mengejawantahkan akhlak yang mulia.
Di dalam konteks ini jelas bahwa betapa diam itu sering kali bermanfaat dibandingkan berbagai macam penjelasan. Karena dengan diam itu seseorang bisa mensublimasi aneka ragam pemahaman biar menjadi kenyataan di dalam kehidupannya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024