Syaikh Abu Hamid az-Zanji

Beliau adalah Abu Hamid az-Zanji al-Aswad. Salah satu guru rohani dari Syaikh Abu ‘Ali ar-Rubadzari. Saya tidak tahu di mana dan kapan beliau lahir. Pun, saya tidak mendapatkan data yang menuturkan di mana dan kapan beliau wafat.

Tentang reputasi rohani beliau yang sangat cemerlang, Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin ash-Shaghir memberikan testimoni sebagaimana berikut ini. “Syaikh Abu Hamid az-Zanji selama tiga puluh tahun berada di Masjid al-Haram. Di dalam duduknya, beliau senantiasa tawajjuh atau menghadapkan diri ke Baitullah.

Beliau tidak pernah keluar dari Masjid al-Haram kecuali untuk bersuci. Di sana, tidak pernah ada seorang pun yang melihat beliau makan atau minum. Ketika beliau dirundung rasa cinta yang sangat berat kepada Allah Ta’ala, kulitnya yang hitam seketika berubah menjadi putih. Dan ketika beliau kembali ke kesadaran semula, warna kulitnya pun berubah menjadi hitam seperti sedia kala.”

Bayangkan baik-baik, waktu tiga puluh tahun untuk ukuran seseorang yang melaksanakan i’tikaf sama sekali bukanlah waktu yang singkat, tapi betul-betul lama. Saya pribadi jangankan menempuh i’tikaf sepanjang kurun waktu itu, membayangkan kemungkinannya saja saya tidak sanggup.

Dapat dipastikan bahwa selama menjalani i’tikaf di tempat yang paling mulia di muka bumi itu, sang sufi tidak pernah berpikir untuk sejenak saja beranjangsana keluar dari Masjid al-Haram, sekadar untuk menghirup udara segar, sekadar untuk memanjakan mata menikmati berbagai pemandangan. Tidak. Sama sekali hal itu tidak beliau lakukan.

Karena beliau sepenuhnya sadar secara spiritual bahwa di tempat yang sangat sakral seperti itu begitu terasa kalau hidup dan mati beliau mutlak untuk Allah Ta’ala semata. Juga karena beliau sungguh menyadari bahwa di dalam hidup ini yang terpenting hanyalah hadiratNya. Apa yang disebut sebagai yang lain tak lebih seperti busa-busa yang centang-perenang.

Ketika keberpihakan beliau kepada Allah Ta’ala menjadi sedemikian tidak terperikan, bahkan aktivitas yang lazim ditekuni oleh hampir semua orang demi keberlangsungan hidup yang survive, yang tak lain adalah makan dan minum, oleh beliau ditanggalkan sekaligus ditinggalkan.

Saya merasa haqqul yaqin bahwa hal itu terjadi bukan karena kesengajaan beliau untuk meninggalkan makan dan minum, tapi mutlak lantaran keintiman spiritual beliau dengan Tuhannya yang telah menjadikan beliau sama sekali tidak urus terhadap rasa lapar dan haus yang menderanya. Bagi beliau, mendapatkan Allah Ta’ala adalah mendapatkan segalanya.

Pada suatu hari, Syaikh Abu al-Hasan bin Sya’rah memasuki Masjid Jamik di Mesir. Di dalam masjid, beliau melihat Syaikh Abu Hamid az-Zanji baru saja rampung menunaikan shalat. “Wahai Abu Hamid, engkau turun dari kedudukan rohani yang tinggi?” tanya Syaikh Abu al-Hasan bin Sya’rah. Yang ditanya menjawab: “Aku berinteraksi dengan dunia sosial untuk menolong para pendosa.”

Artinya adalah bahwa ketika seorang sufi telah dianugerahi puncak rohani tertinggi, maka tidak boleh tidak tugas selanjutnya adalah menjadi teofani hadiratNya yang senantiasa mengisi sisa umur hidupnya dengan menyebarkan cinta, kasih-sayang dan keberkahan bagi sesama dan kehidupan. Utamanya bagi mereka yang diborgol dosa-dosa. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!