Syaikh Abu Hasyim Ash-Shufi

charlemagne

Beliau adalah orang yang pertama kali dikenal sebagai sufi. Seorang syaikh yang berasal dari Kufah dan bermukim di Syiria. Beliau sezaman dengan Syaikh Sufyan ats-Tsauri yang wafat di Bashrah pada tahun 161 Hijriah.

“Aku sama sekali tidak mengetahui arti dari kata sufi sebelum aku melihat Abu Hasyim ash-Shufi,” ungkap Syaikh Sufyan ats-Tsauri. Artinya adalah bahwa sebelum beliau tidak ada seorang pun yang dijuluki sebagai sufi.

Yang ada hanyalah sebutan zuhhad untuk para asketis, mutawarri’un untuk orang-orang yang sangat hati-hati agar tidak terjerumus ke dalam dosa-dosa dan syubhat, mutawakkilun untuk orang-orang yang senantiasa bertawakkal kepada Allah Ta’ala, muhibbun untuk mereka yang jatuh cinta kepada hadiratNya, dan lain sebagainya.

Bersamaan dengan merebaknya sebutan sufi itu, dibangunlah untuk pertama kalinya sebuah balairung di Ramallah Syiria untuk menampung para sufi yang datang dari berbagai daerah. Dalam kepustakaan kaum sufi, bangunan itu disebut dengan khanaqah.

Waktu itu, perilaku kaum sufi sangat menggugah banyak orang. Terutama berkaitan dengan persaudaraan di antara sesama mereka. Seorang sultan Ramallah yang beragama Yahudi sedang berburu waktu itu. Dia melihat dua orang laki-laki berjumpa, bersalaman, berpelukan, duduk bersama, saling mengeluarkan bekal masing-masing, makan bersama, kemudian keduanya berpisah.

Melihat pemandangan seperti itu, si sultan Ramallah itu sangat takjub. Dia memanggil salah satu dari keduanya yang tak lain adalah Syaikh Abu Hasyim. Lalu, terjadilah dialog sebagaimana berikut ini.

Sultan: “Apakah orang tadi itu temanmu?”

Syaikh Abu Hasyim: “Bukan, aku tidak kenal.”

Sultan: “Apakah di antara engkau dan dia ada hubungan kekerabatan?”

Syaikh Abu Hasyim: “Tidak ada.”

Sultan: “Dari mana dia?”

Syaikh Abu Hasyim: “Aku juga tidak tahu.”

Sultan: “Lha, kok begitu akrab, saling cinta dan sangat cocok?”

Syaikh Abu Hasyim: “Inilah jalan hidup kami, inilah kebiasaan kami para sufi ketika berjumpa dengan sesama.”

Sultan: “Apakah kalian punya tempat tertentu untuk berkumpul dan istirahat?”

Syaikh Abu Hasyim: “Tidak punya.”

Dari adanya dialog itu, sultan Ramallah lalu membangun sebuah khanaqah untuk mereka. Sultan yang beragama Yahudi pun tergugah dan tergetar menyaksikan lengketnya persaudaraan yang tertanam kuat di hati mereka masing-masing.

Dan untuk sampai pada persaudaraan murni dan mengharukan seperti itu, pastilah Syaikh Abu Hasyim dan para sufi yang lain telah terbebaskan terlebih dahulu dari berbagai macam penyakit hati. Dan itu pula sebenarnya yang secara ideal mesti kita terapkan di dalam kehidupan yang kebak dengan berbagai jenis manusia dan keanekaragaman. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!