Beliau adalah Abu Hatim al-‘Aththar al-Bashri. Termasuk sufi pada generasi awal. Kawan bagi Syaikh Abu Turab an-Nakhsyabi dan guru bagi Syaikh Junaidi al-Baghdadi dan Syaikh Abu Sa’id al-Kharraz.
Secara lahiriah, profesi beliau adalah seorang pedagang. Akan tetapi dimensi batiniahnya murni steril dari segala hiruk-pikuk barang-barang dagangan. Bahkan hati beliau tidak tersentuh oleh berbagai gemuruh dunia yang fana ini. Dari mulai yang remeh-temeh sampai spektakuler.
Beliau telah sanggup menepi ke kemegahan kerajaan rohani di tengah kubangan kefanaan hidup ini. Ternyata betul bahwa hidup ini memang berlapis-lapis. Yang ada di permukaan adalah yang paling sumpek dan ringkih. Ditelusuri ke dalam akan semakin luas dan lapang. Demikianlah, sehingga akhirnya tidak terhingga ketika “sampai” di keluasan Tuhan semesta alam.
Di tangan Syaikh Abu Hatim, keduanya, antara yang ringkih dengan yang lapang itu, bisa dipadukan dengan saksama, sama sekali tidak kontradiktif atau berlawanan. Bahkan apa yang semula disebut sebagai ringkih dan sumpek itu kemudian sepenuhnya diluberi dengan berbagai atmosfer dan nilai-nilai transendental. Yang transenden itu tidak saja mengalahkan yang sumpek, akan tetapi lebih dari itu juga sanggup menjadikannya transenden pula.
Dengan senantiasa menyelami samudera kelezatan rohani itu, Syaikh Abu Hatim bertekad memerdekakan diri dari atribut-atribut kesufian secara lahiriah, terutama yang berkaitan dengan performen atau pakaian. Sehingga ketika bertemu dengan “sufi-sufi lahiriah”, dengan pedih beliau menyatakan: “Kalian telah memvisualisasikan identitas dan menabuh gendang.”
Kelezatan rohani yang berselimutkan “kesunyian” itu ditempuh oleh beliau semata untuk semakin menuntaskan keluh-kesah dan dendam-rindunya kepada Allah Ta’ala. Bagi seorang sufi seperti beliau, ada keleluasaan dan kebahagiaan yang meluap-luap ketika berbagai identitas kesufian lahiriah itu sudah sepenuhnya dipreteli dan ditanggalkan. Itulah sebabnya, beliau merasa nyaman dengan berlindung di balik profesinya sebagai pedagang.
Pada suatu hari, ada seseorang yang datang dan mengetuk pintu Syaikh Abu Hatim. Dari balik pintu, beliau bertanya tentang siapa yang datang. Yang ditanya itu menjawab bahwa dirinya adalah seorang darwisy atau sufi pengelana yang senantiasa menyebut, “Allah, Allah, Allah.”
Kontan, beliau langsung membuka pintu, mempersilakan sang tamu masuk. Dengan penuh gembira dan penghormatan yang tulus terhadap tamu itu, beliau bersujud di atas debu, menempelkan keningnya dengan asal-usul dirinya, sebagai rasa syukur yang membuncah dan membahana di keluasan batinnya.
Lalu, diciumlah kaki sang sufi pengelana itu sebagai wujud terima kasih karena hadiratNya telah menganugerahkan karunia rohani tak terkira-kira yang berupa kedatangannya. Dengan penuh takjub beliau lalu mengatakan: “Masih ada ternyata orang yang menyebut ‘Allah, Allah, Allah’ dengan sepenuh hati dan makrifat yang paling puncak.”
Ungkapan tersebut bisa dimaklumi karena di saat itu Baghdad sedang berhias dengan berbagai rupa yang glamor, dengan berbagai fantasi duniawi, juga dengan berbagai macam kefasikan dan hipokrisi. Dunia rohani menjadi pengap dan kumuh. Sehingga berjumpa dengan orang yang suci laksana mendapatkan oase yang begitu deras dan jernih di tengah padang sahara yang sangat gila dan mematikan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024