Beliau adalah Ibrahim bin Dawud Abu Ishaq al-Qashshar ar-Raqi. Termasuk sufi agung dari Syiria. Segenerasi dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Jala’ dan lain sebagainya. Beliau wafat pada tahun 326 Hijriah.
Ada dua jalan rohani yang terutama ditempuh oleh beliau. Yaitu, tawakkal dan tajrid. Tidak tanggung-tanggung, tawakkal yang ditekuni oleh beliau bukanlah tawakkal yang “manual” atau permulaan yang diawali dengan berikhtiar terlebih dahulu baru kemudian menyerahkan seberapa hasilnya kepada Allah Ta’ala. Tidak. Sama sekali tidak demikian.
Tapi langsung berserah diri kepada hadiratNya yang merupakan penguasa satu-satunya terhadap berbagai macam usaha yang dikerahkan oleh manusia. Dengan jelas beliau melakukan lompatan di dalam menerapkan tawakkal. Yaitu, langsung bersandar kepada Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengatur.
Model tawakkal seperti itu sejalur dengan konsepsi tajrid. Yaitu, beliau membiarkan dirinya dicari atau bahkan diburu oleh rezeki materi. Bukan malah sebaliknya. Yakni, mencari atau bahkan memburu rezeki materi. Dalam melaksanakan konsepsi tajrid itu, beliau membiarkan dirinya pasif. Sementara rezeki-rezeki materi aktif menghampiri dan menawarkan diri kepada beliau.
Tentu saja rezeki-rezeki materi itu tidak datang secara langsung dengan “berjalan kaki” sendiri mendatangi sang sufi. Tapi diantarkan oleh orang-orang yang meyakini bahwa beliau merupakan salah satu dari sumber keberkahan. Artinya adalah bahwa memberikan rezeki materi kepada beliau dengan penuh keikhlasan akan berefek mendapatkan keberkahan bagi yang memberikan.
Bukan tanpa alasan. Karena jelas bahwa setiap rezeki materi yang diterima oleh beliau pastilah digunakan untuk berbagai kemuliaan di jalan Allah Ta’ala, sama sekali tidak untuk menggembalakan nafsunya di padang-padang kesenangan yang menipu. Bahkan dalam konteks pemahaman di atas, memberi secara substansial sama dengan menerima.
Bersamaan dengan dua jalur kerohanian yang senantiasa ditekuni itu, beliau dengan intens merealisasikan keberpihakan dengan penuh cinta dan penghormatan secara terang-terangan terhadap dua kelompok manusia yang sangat diperhatikan di dalam Islam. Yaitu, para ulama dan fakir-miskin.
Secara substansial, kecintaan dan penghormatan beliau terhadap para ulama sesungguhnya merupakan wujud konkret dari atensi beliau yang sepenuh hati terhadap realitas kebenaran Ilahi yang tertinggi. Yaitu, keberadaan para nabi yang sejatinya merupakan lampu-lampu pijar rohani bagi kehidupan. Bagaimana mungkin tidak, bukankah para ulama itu merupakan pewaris para nabi?
Tentu saja yang dimaksud ulama di sini bukanlah “ulama” jadi-jadian yang merupakan hasil dari stempel masyarakat medsos. Tapi betul-betul ulama ‘indalLah, ulama di sisi Allah Ta’ala, yang ditandai dengan adanya kedalaman ilmu dan akhlak yang terpuji. Di kedalaman batin mereka, bergemuruh rasa takut kepada hadiratNya.
Sedangkan keberpihakan terhadap fakir-miskin yang telah dengan gigih dan penuh ketulusan dipraktikkan oleh beliau jelas merupakan salah satu ketauladanan Rasulullah Saw. Dan menapaktilasi ketauladanan Sayyid al-Wujud Saw dengan tindakan yang konkret sungguh merupakan perilaku yang sangat terpuji. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Qasim al-Muqri - 11 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah Al-Muqri - 4 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maula - 27 September 2024