Syaikh Abu Ja’far al-Farghani

Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdullah Abu Ja’far al-Farghani. Salah satu sahabat Syaikh Junaid al-Baghdadi. Bahkan termasuk sufi yang meriwayatkan kalimat-kalimat sufistik yang diungkapkan oleh sang sufi terkenal kelahiran Baghdad tersebut.

Ada kisah menarik berkaitan dengan Syaikh Abu Ja’far al-Farghani yang dituturkan oleh Syaikh Abu ‘Abdillah Baku. Kisahnya sebagaimana berikut: dalam salah satu episode hidupnya, Syaikh Abu Ja’far al-Farghani pernah menjadi khadim atau pelayan bagi seorang sufi tersohor bernama Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri.

Pada suatu hari di Nisapur, Persia, beliau mengiringi sang sufi agung itu di dalam sebuah perjalanan. Sang sufi menunggangi seekor kuda. Sementara beliau berjalan kaki. Saat itu, baru saja reda hujan yang sangat lebat. Jalanan becek. Penuh dengan lumpur. Perjalanan sangat terganggu. Tapi tidak boleh tidak harus ditempuh.

Di dalam hati Syaikh Abu Ja’far al-Farghani terlintas ungkapan: “Syaikh Abu ‘Utsman menikmati naik kuda. Sementara aku berjalan kaki. Beliau tidak mengetahui betapa sengsara aku mengatasi lumpur jalanan.” Sebuah gerutu yang begitu tandas di dalam hatinya.

Sangat menakjubkan. Setelah gerundelan itu rampung, Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri langsung turun dari kudanya. “Naiklah,” kata sang sufi agung itu dengan tandas. “Kenapa Syaikh?” tanya Syaikh Abu Ja’far al-Farghani, seolah tidak tahu-menahu dengan persoalan yang menimpa hatinya sendiri. Padahal batinnya sedang kacau.

“Naiklah,” perintah sang sufi agung itu lagi. Syaikh Abu Ja’far al-Farghani tidak bisa mengelak. Dengan terpaksa beliau menaiki kuda itu. Sedangkan Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri berjalan di depannya. Syaikh Abu Ja’far al-Farghani merasa malu tidak terkira. Beliau merasa sangat tidak nyaman dengan suasana itu.

Beliau lalu turun dari kuda yang ditungganginya. Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri bertanya: “Wahai al-Farghani, bagaimana kondisimu sekarang?” Yang ditanya menjawab: “Wahai Guru, tolong jangan tanyakan hal itu kepadaku.”  Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri lantas menimpali: “Demikianlah. Tadi aku mengendarai kuda. Sementara engkau merasa berat menanggung beban perjalanan. Lalu aku merasa malu sebagaimana yang barusan engkau rasakan.”

Pelajaran apa, gerangan, yang bisa kita ambil dari sepenggal kisah tersebut? Pertama, adanya kesabaran dan kesungguhan dalam menempuh sebuah tujuan yang mulia. Biarpun rintangan menghadang, demi sebuah tujuan yang luhur, pantangan bagi kita untuk gampang menyerah. Allah Ta’ala senantiasa menghargai kesabaran dan kesungguhan kita.

Kedua, adanya penerapan sikap sopan santun di dalam kebersamaan. Yang tua penuh kasih sayang kepada yang muda. Yang muda penuh rasa hormat kepada yang lebih tua. Tidak digerogoti oleh kekelaman egoisme dan menangnya sendiri. Itulah secuil akhlak terpuji dari Sang Nabi Saw.

Ketiga, adanya kepekaan terhadap sesama. Merasakan kegetiran yang mendera orang lain lantas berusaha dengan segala kesungguhan dan keikhlasan untuk menebusnya adalah bukti konkret dari adanya kepekaan yang semestinya senantiasa dijaga eksistensinya di dalam diri kita.

Hidup dengan sikap yang indah dan terpuji yang seperti itu tidak lain merupakan bukti konkret dari penerapan sebagian akhlak luhur Nabi Muhammad Saw. Betapa sangat penting bagi kita semua untuk selalu menerapkannya di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!