Sang Wali Quthub yang menyandang “gelar” al-Majdzum karena senantiasa bersahabat dengan penyakit lepra yang menderanya, betul-betul hebat secara rohani, juga betul-betul sakti baik secara lahir maupun batin. Beliau sungguh mengagumkan. Karena itu, banyak di antara para sufi yang ingin sekali melihat dan berjumpa dengan beliau.
Membaca pengalaman berjumpa dengan beliau sebagaimana yang pernah dialami oleh Syaikh Abu al-Husin ad-Darraj sungguh sangat mengasyikkan, utamanya bagi saya pribadi. “Ketika aku sedang melaksanakan ibadah thawaf dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji,” ungkap Syaikh Abu al-Husin, “aku melihat Syaikh Abu Ja’far al-Majdzum. Lalu, aku mendatangi para sufi di salah satu sudut di Masjid al-Haram dan aku beritahukan kepada mereka bahwa aku barusan melihat beliau.
Mereka berkata bahwa kalau aku melihat beliau lagi, mereka mohon agar beliau dibiarkan dan aku diminta untuk memberitahukan secepatnya kepada mereka. Aku keluar dari Masjid al-Haram menuju Mina dan ‘Arafah. Di sana aku tidak berhasil menjumpai beliau.
Akan tetapi ketika aku sedang melempar jumroh, tiba-tiba ada seseorang yang mengucap salam kepadaku. Aku lihat, ternyata yang mengucap salam itu adalah Syaikh Abu Ja’far al-Majdzum. Ketika aku memandang beliau, aku betul-betul mengalami kondisi rohani yang sangat hebat, merasakan cinta yang luar biasa kepada Allah Ta’ala.
Aku menjerit sekuat tenaga agar mereka tahu bahwa aku sedang berjumpa dengan beliau. Beliau pergi dan aku pingsan. Ketika aku sadar, kulangkahkan kakiku menuju Masjid al-Khif. Di situ, kututurkan kepada para sufi pengalamanku yang sangat mendebarkan berjumpa dengan Syaikh Abu Ja’far al-Majdzum.
Aku kembali ke Masjid al-Haram. Di belakang Maqam Ibrahim, beliau menjumpaiku. Aku mohon untuk didoakan oleh beliau. Tapi beliau bilang bahwa dirinya tidak berdoa. Beliau menyuruh aku berdoa dan beliau mengaminkan doaku. Pertama, aku berdoa agar Allah Ta’ala memberikan rezeki tiap hari sesuai keperluanku, tidak lebih. Maka setelah itu, selama bertahun-tahun aku tidak pernah menyisihkan rezeki untuk hari esok. Untuk hari ini, rezekiku datang hari ini juga. Untuk hari esok, rezekiku datang hari esok juga.
Kedua, aku berdoa agar Allah Ta’ala menjadikan kefakiran sebagai kecintaanku. Itu pun juga menjadi nyata setelah doaku diaminkan beliau. Ketiga, aku berdoa agar hadiratNya mengumpulkanku bersama para kekasihNya. Aku berharap yang ketiga ini betul-betul dikabulkan juga.”
Berjumpa secara spiritual dengan seseorang yang berada di puncak tertinggi dari derajat kewalian adalah sama saja dengan mendapatkan kekuatan rohani yang tidak terkira, sama saja dengan mendapatkan cinta paling sakral yang meluap-luap terhadap Allah Ta’ala, sama saja dengan mendapatkan prototipe kehadiran Ilahi yang begitu nyata dan mempesona.
Berjumpa secara spiritual dengan seorang Wali Quthub sama saja dengan mendapatkan realitas dikabulkannya doa, sama saja dengan mendapatkan hadiratNya, sama saja dengan mendapatkan kenikmatan paling berharga sekaligus paling puncak, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.
Seorang Wali Quthub adalah dia yang telah kehilangan dirinya sendiri, digantikan sekaligus diperankan oleh Allah Ta’ala dalam setiap tindakan, perilaku dan keputusannya. Seorang Wali Quthub adalah dia yang telah menyaksikan sekaligus merasakan bahwa yang betul-betul ada adalah hadiratNya belaka, sama sekali tidak menyaksikan sekaligus tidak merasakan bahwa yang lain itu ada. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024