Inilah seorang sufi yang unik sekaligus sangat mumpuni secara spiritual. Beliau adalah orang suci yang senantiasa menyandang penyakit lepra. Itulah sebabnya beliau disebut al-Majdzum. Beliau adalah seorang Wali Quthub yang doanya sedemikian mujarab dan ampuh. Segenerasi dengan Syaikh Abu al-‘Abbas bin ‘Atha’ yang hidup sekitar tahun 900an Masehi.
Andaikan beliau berdoa untuk kesembuhan penyakit lepra yang menderanya, niscaya doanya langsung dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Tapi beliau tidak berdoa untuk hal itu. Bukan saja beliau sudah sanggup berdamai dengan penyakit lepra itu, tapi bahkan bisa “berjumpa” dan menyaksikan hadiratNya lewat penyakit tersebut. Betapa sangat mengasyikkan.
Beliau adalah seorang sufi yang fakir-miskin dalam pemahamannya yang paling hakiki. Tidak memiliki apa-apa dalam hidupnya selain Allah Ta’ala. Dan karena itu, hidupnya yang sangat lemah kemudian menjadi gagah. Tidak pernah mengemis, merengek, bersandar, dan bergantung pada makhluk.
Dan karena beliau senantiasa bersandar dan bergantung sepenuhnya kepada Allah Ta’ala, maka hadiratNya itu selalu menolong dan bahkan berpihak kepada beliau. Allahlah satu-satunya backing beliau, bukan apa atau siapa pun yang lain.
Testimoni tentang kehebatan rohani beliau disampaikan oleh Syaikh Abu al-Husin ad-Darraj sebagaimana dikisahkan oleh Syaikh Ibn al-Khafif. “Pada suatu hari,” ungkap Syaikh Abu al-Husin memulai kisahnya, “aku menempuh perjalanan bersama kawan-kawan. Aku capek, aku kesel. Karena di antara mereka selalu terjadi percekcokan.
Aku memutuskan untuk menempuh perjalanan sendirian saja. Ketika aku sampai di Masjid al-Qadisiyah di Mesopotamia Selatan, aku melihat orang tua yang terjangkit penyakit lepra. Dia sakit parah. Ketika dia juga melihatku, dia mengucap salam dan menyapaku.
+’Wahai Abu al-Husin, kau mau berhaji?’
-Aku jawab sekenanya: ‘Terpaksa.’
+’Kau mau teman?’
-‘Tidak,’ jawabku tegas. Aku membatin bahwa aku sudah cukup merasa puyeng bersama kawan-kawan dengan badan yang sehat, sekarang malah aku diuji dengan seseorang yang terjangkit penyakit lepra.
+’Jadilah temanku.’
-‘Demi Allah aku tidak mau berteman denganmu.’
+’Wahai Abu al-Husin, Allah Mahakuasa berbuat apa pun lewat seorang yang lemah sehingga orang yang kuat menjadi takjub.’
-‘Demikianlah.’ Lalu, kutinggalkan dia dengan perasaan tidak senang.
Kulanjutkan perjalanan lagi. Setelah kutempuh jarak yang jauh, aku melihat dia lagi sedang duduk beristirahat di waktu Dhuha. Dia mengulangi kalimatnya lagi kepadaku: ‘Wahai Abu al-Husin, Allah Mahakuasa berbuat apa pun lewat seorang yang lemah sehingga orang yang kuat menjadi takjub.’ Aku tidak menanggapinya. Hatiku bingung dan gelisah lantaran orang itu.
Dengan terburu-buru aku melanjutkan perjalanan. Ketika pada waktu Subuh aku sampai di sebuah daerah, aku masuk masjid di situ. Ternyata dia telah terlebih dahulu ada di dalam masjid. Dia mengulangi lagi kalimatnya kepadaku: ‘Wahai Abu al-Husin, Allah Mahakuasa berbuat apa pun lewat seorang yang lemah sehingga orang yang kuat menjadi takjub’.”
Ketika Syaikh Abu al-Husin ad-Darraj mulai mengakui kedahsyatan spiritualitas Syaikh Abu Ja’far al-Majdzum, seketika itu juga hilanglah lelah, hilanglah lapar, hilanglah duka dan derita yang bersemayam di dalam hati Syaikh Abu al-Husin. Itulah sebabnya kenapa Syaikh Abubakar al-Kattani dan Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin selama tiga puluh tahun berharap untuk bisa melihat Syaikh Abu Ja’far al-Majdzum. Tak lain karena barokah Allah Ta’ala meluap-luap pada diri sang sufi yang senantiasa dililit penyakit lepra itu. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024