
Beliau adalah Muhammad bin ‘Ali an-Nasawi Abu Ja’far yang juga dikenal dengan sebutan Muhammad bin ‘Alyan. Di samping sebagai orang agung dari kalangan para sahabat Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri, beliau juga diketahui sebagai seorang sufi yang masyhur dari Nasa: sebuah negeri yang terkenal di zaman dulu yang terletak di antara Sarakhs dan Merv di Khorasan.
Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi yang sangat tangguh di bidang makrifat. Sampai-sampai beliau mendapatkan julukan sebagai Imam al-Ma’arif. Dengan adanya kepiawaian di bidang hal itu, beliau dianugerahi kesanggupan untuk membebaskan diri dari pengapnya dinding-dinding kehidupan yang merupakan penjara bagi kaum pandir ini.
Bagi seorang sufi yang memiliki semangat spiritual yang tinggi itu, adanya sikap zuhd di dunia ini tidak lain merupakan kunci rohani bagi lahirnya heroisme terhadap kehidupan di akhirat nanti. Semakin kita bersikap zuhd, maka semangat kita terhadap akhirat akan semakin menjadi-jadi.
Zuhd adalah sikap asketik. Mengambil jarak dari kemegahan dan gemerlap duniawi secara spiritual, bukan secara lahiriah. Sebab, secara lahiriah siapa pun boleh bergaul dengan apa saja di dunia ini. Termasuk dengan berbagai benda dan barang-barang yang mewah. Yang penting hati kita tetap steril dari gangguan-gangguan aneka barang tersebut.
Ketika hati kita sudah sanggup menikmati sikap zuhd, tidak terpaksa lagi hidup dengan berbagai keterbatasan, maka dapat dipastikan bahwa hati kita akan senantiasa memancarkan cahaya-cahaya keilahian pada kehidupan di sekitar diri kita. Semakin kuat cahaya rohani itu, maka akan semakin kuat pula pancarannya.
Menurut Syaikh ‘Abdullah al-Haddad (1634-1720), barang siapa dianugerahi kesulitan demi kesulitan di dalam berbagai urusan duniawi dan dia diberi kemudahan demi kemudahan di dalam perkara urusan ukhrowi, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia tidak lain adalah pewaris para nabi. Sungguh, sangat beruntung dia.
Tidak saja beliau selalu bersikap zuhd, tapi juga senantiasa menjaga makanan yang dikonsumsinya, jangan sampai ada sesuatu yang haram di dalamnya. Demikian pula dengan minuman-minuman yang ditenggaknya. Sikap beliau tegas bahwa minuman yang haram atau najis akan mencegahnya dari memasuki hadiratNya.
Hal itu telah dibuktikan oleh beliau sendiri selama bertahun-tahun. Bahkan ketika beliau berada dalam perjalanan menuju Syaikh ‘Utsman al-Amidi untuk menanyakan berbagai macam masalah, beliau tidak makan, tidak minum, tidak tidur, bahkan berjalan dalam keadaan suci. Ketika wudhu beliau batal, beliau segera berwudhu, lalu berjalan lagi.
Sebagai karunia dari sikap asketiknya yang telah berlangsung lama itu, Allah Ta’ala memberikan kepada beliau berbagai macam karamah. Yaitu, kejadian adikodrati yang sama sekali tidaklah berada di bawah kemampuan beliau di dalam mengendalikannya, tapi mutlak dipandu langsung oleh hadiratNya.
Tentang karamah itu, beliau menyatakan bahwa siapa pun yang menampakkan karamah sesuai pilihan dan kemauannya, maka dia adalah orang yang mengaku-aku bahwa dirinya memiliki karamah itu. Sedangkan orang yang mengejawantahkan karamah tidak karena kehendak dan kemauannya, maka jelas bahwa dia adalah seorang wali. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Nashr as-Sarraj - 14 March 2025
- Syaikh Bab al-Farghani - 7 March 2025
- Syaikh Abu Hamid al-Muhib - 28 February 2025
Ndnnd
Nsn