Syaikh Abu Manshur as-Sarkhasi

Tidak saya temukan satu pun data yang menuliskan di mana beliau lahir dan wafat. Pun, tidak saya dapatkan sebuah keterangan di dalam berbagai literatur yang saya punya kapan beliau lahir dan wafat. Bahkan nama beliau, sepanjang yang saya ketahui, hanyalah sebagaimana termaktub sebagai judul di atas.

Dikatakan oleh Syaikh al-Islam Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi sebagaimana dikutip oleh Mulla ‘Abdurrahman al-Jami dalam kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi bahwa Syaikh Abu Manshur as-Sarkhasi bermukim di Sarkhas, Khurasan, dan beliau termasuk pemimpin rohani di kalangan kaum Malamatiyyah di sana.

Perlu diketahui bahwa kaum Malamatiyyah adalah sekelompok kaum sufi yang betul-betul menjaga keikhlasan, bersungguh-sungguh di dalam memegang kaidah kejujuran, menyembunyikan berbagai macam ibadah dan kebaikan, menikmati kesaksian Allah Ta’ala terhadap berbagai amal dan kondisi rohani mereka, tidak tebersit sedikit pun untuk merasa puas ketika kebaikan-kebaikan mereka disaksikan makhluk.

Bahkan mereka sering kali tampil di hadapan khalayak dengan berbagai pakaian dan penampilan orang-orang jahat. Hal itu mereka lakukan semata untuk menyembunyikan kecemerlangan hati dan spiritualitas mereka dari aneka ragam penglihatan dan penilaian orang lain. Mereka senantiasa melindungi “keintiman” spiritual mereka dengan hadirat-Nya dari intipan-intipan makhluk.

Dan tentu saja tokoh sufi yang paling bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kaum Malamatiyyah tidak lain adalah Syaikh Hamdun al-Qashshar yang wafat di Nisapur pada tahun 271 Hijriah.

Tokoh sufi dalam esai singkat kali ini, Syaikh Abu Manshur as-Sarkhasi, sebelum dikenal sebagai pemimpin rohani di kalangan kaum Malamatiyyah di Sarkhas, Khurasan, beliau sedemikian gigih bertarung mati-matian untuk mengalahkan dan menundukkan kebengalan nafsunya sendiri yang masih kelam.

Dituturkan dalam sebuah kisah bahwa pada suatu saat ketika dalam keadaan senggang, beliau menggali sumur di pekarangan rumahnya. Ketika telah mencapai kedalaman tertentu dan sampai pada mata air, serta-merta beliau tinggalkan sumur baru itu. Di saat itu juga beliau lalu pindah menggali sumur yang baru lagi di sebelah sumur pertama.

Tanah hasil galian dari sumur yang kedua ditimbunkan pada sumur yang pertama. Sehingga ketika sumur yang kedua sudah jadi, sumur yang pertama telah sempurna tertimbun sebagaimana semula sebelum digali. Demikianlah beliau sengaja membikin kesibukan yang seolah-olah muspra alias tidak bermakna sama sekali.

Seseorang yang menyaksikan perbuatan tersebut, merasa terheran-heran dan menegur beliau. “Engkau memang sudah gila ya? Kenapa engkau melakukan sesuatu yang sia-sia?” katanya sembari diliputi kebingungan. “Bukan sia-sia perbuatanku ini,” ungkap beliau. “Sengaja aku sibukkan nafsuku sebelum ia menjadikanku kalang kabut karenanya.”

Karena pertolongan Allah Ta’ala yang berupa keikhlasan dan kesungguhan dalam mencemerlangkan nafsunya, beliau akhirnya dianugerahi derajat yang tinggi, spiritualitas yang gemilang dan budi pekerti yang luhur. Hidup beliau betul-betul membentangkan berbagai macam kemanfaatan dan keberkahan bagi sesama. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!